Saya rasa istilah “paid bangkung” sudah bukan istilah yang asing lagi di telinga umat Hindu etnis Bali. Yaitu sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan seorang lelaki Hindu yang menikah dengan wanita non-Hindu dan kemudian mengikuti agama istrinya. Etimologi “paid bangkung” sendiri berasal dari bahasa Bali, yaitu dari kata “paid” = ditarik dan “bangkung” = babi betina yang dipelihara untuk dibiakkan. Jadi istilah “paid bangkung” selalu dikonotasikan sebagai hal yang negatif.
Sering kali seorang pemuda Hindu Bali khususnya yang baik karena merantau ke luar Bali atau karena memang lahir di luar Bali dihadapkan dengan sebuah permasalahan yang sudah pasti pernah dialami oleh orang normal, yaitu “Cinta”. Sebagian besar pemuda/pemudi Hindu di luar Bali pernah menjalin cinta dengan pemuda/pemudi non-Hindu.
Cinta, sebuah hal yang sederhana tetapi juga ruwet. Cinta memang buta, hanya karena cinta pada pasangan, seseorang dapat meninggalkan agama dan keluarga. Tidakkah mereka sadar bahwa cinta pada lawan jenis tidak ubahnya bagai bunga rumput yang kadang tumbuh dan bersemi lalu mati dalam hitungan sekejap? Sering kali kita jatuh cinta pada seseorang karena fisiknya, padahal kalau mau jujur, sampai kapan kecantikan/ketampanan fisik itu akan bertahan? Tidak akan lebih dari umur 30 tahun kan?
Kita adalah Jiva (Atman) yang mandiri dan terpisah dari jiva-jiva lainnya. Jiva (Atman) hanya memiliki hubungan khusus dengan sumber dari Atman itu sendiri, yaitu Paramatman, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagavad Gita 8.15 Sri Krishna mengatakan “Bhair antas ca bhutanam, Aku bersemayam dalam hati setiap insan”. Dalam aspeknya sebagai paramatman, Tuhan selalu menyertai sang jiva. Jika jiva dan paramatman diibaratkan sebagai dua ekor burung yang hinggap di sebuah pohon (analogi dari badan), Maka burung yang satu (jiva) sibuk sebagai penikmat dan pengguna semua fasilitas dan makanan yang ada pada pohon (badan) tersebut, sementara itu burung yang satunya lagi (paramatman) selalu setia menemani dan mengawasi burung penikmat (jiva) tadi. Celakanya, sering kali burung penikmat (jiva) ini selalu disibukkan oleh pemuasan nafsu kenikmatan pribadinya, sehingga dia melupakan burung yang selalu menemaninya (paramatman) dan selalu tertarik untuk terbang ke pohon-pohon lainnya demi kenikmatannya sendiri. Kita sering kali lupa akan siapa sejatinya diri kita. Apakah kita badan ini atau sesuatu di balik badan ini? Kita sering kali terperangkap untuk menikmati badan serta tertarik pada badan-badan yang lain dan kita lupa pada Tuhan (paramatman) yang selalu setia menemani kita. Andaikan seseorang sadar akan kedudukannya ini, dan mengerti bahwa cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, maka penderitaan akan cinta yang konyol seperti kasus “paid bangkung” ini tidak akan pernah terjadi.
Dalam pelaksanaan perkawinan (vivaha) Hindu, hendaknya seseorang harus memperhatikan beberapa aturan dasar yang harus diketahui dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan vivaha tersebut, mokshatram ya ca iti dharma.
Tujuan mendasar dari sebuah perkawinan adalah membentuk keluarga yang berazaskan dharma sehingga menghasilkan anak-anak yang suputra dan selanjutnya suami istri harus dapat saling bahu-membahu melaksanakan yajna (upacara agama) sehingga diharapkan keduanya pada akhirnya akan mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu moksha. Hal ini diuraikan dalam Manava Dharma Sastra 9.96; “untuk menjadi ibu/istri maka wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah/swami maka lelaki diciptakan, keduanya diciptakan untuk menyelenggarakan upacara agama”.
Disamping itu seorang laki-laki yang akan menikah harus menyadari betul hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Istilah suami berasal dari kata sansekerta “svami” yang artinya mengendalikan. Penggunaan kata svami ditujukan untuk dua hal, yaitu untuk orang suci dan untuk pemimpin keluarga.
Orang suci dapat menyandang nama/gelar svami jika mereka mampu mengendalikan indria-indrianya, mampu melaksanakan Panca Yama Bratha dan Panca Nyama Bratha serta menjalani aturan kehidupan sanyasi (bhiksuka), tidak terikat lagi dengan keluarga dan kehidupan material dan hanya disibukkan dalam pelayanan bhakti pada Tuhan dan menyebarkan dharma ke seluruh dunia.
Seorang laki-laki berumah tangga dapat disebut suami/svami jika mampu mengendalikan dan menuntun istri serta anak-anaknya sesuai dengan ajaran dharma. Seorang suami tidak dibenarkan takut pada istri dan berada di bawah ketiak istri, tapi swamilah yang harus mengendalikan istrinya dan tentunya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dharma. Seorang lelaki yang mengendalikan pasangan hidup dan keluarganya secara sewenang-wenang dan tanpa aturan sastra agama yang benar juga tidak layak disebut sebagai suami.
Sehingga dengan ketiga prinsip dasar ini, yaitu bahwasanya cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, suami dan istri diciptakan untuk saling bahu membahu melaksanakan ajaran dharma serta pada dasarnya seseorang hanya dapat disebut suami jika dia mampu mengendalikan dan mendidik keluarganya sesuai dengan prinsip dharma, maka beberapa jenis pernikahan yang marak terjadi belakangan ini tidak dapat dibenarkan.
Yang pertama, pernikahan “paid bangkung” sudah pasti menunjukkan bahwa pemuda yang “paid bangkung” ini tidak menyadari dirinya yang sejati sebagai jiva. Dia terlena akan kecantikan lawan jenis, iming-iming harta warisan atau mungkin karena pengetahuan agama dan antar agamanya yang sangat kering.
Kesalahan utama pemuda Hindu dalam meminang seorang wanita non-Hindu adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agamapun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agamapun acap kali terdapat perbedaan pandangan/aliran. Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki toleransi paling tinggi adalah Hindu dan berikutnya diurutan kedua adalah Buddha serta agama-agama Timur lainnya. Pada urutan berikutnya adalah Kristen dan dikuti oleh agama Yahudi. Sementara itu agama yang paling tidak toleran menurut survei tersebut adalah Islam. Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.
Kasus menarik “paid bangkung” akibat kebanggaan buta akan sikap toleransi dan keringnya pengetahuan akan Hindu pernah terjadi di Yogyakarta. Pada waktu itu sebuah rombongan keluarga dari seorang alumnus salah satu perguruan tinggi di Yogya mendatangi rumah keluarga pacarnya dengan maksud meminang pacarnya tersebut. Setelah melakukan percakapan yang cukup hangat, tibalah pada sebuah percakapan yang menyangkut perbedaan agama antara kedua keluarga tersebut. Percakapanpun berlangsung a lot dan tegang, namun pada akhirnya diredam dengan satu “kalimat sakti” oleh pemimpin rombongan keluarga Hindu dari Bali tersebut. Beliau berujar dan mengatakan bahwa semua agama sama, sehingga tidaklah masalah untuk melakukan pernikahan beda agama antra pasangan ini. Meski meredakan ketegangan, namun ternyata pernyataan ini menjadi bumerang bagi keluarga Hindu Bali ini. Salah satu pihak perempuan akhirnya berujar; “Kalau memang menurut anda semua agama sama, berarti tidak masalah dong ya kalau anak bapak yang pindah ke agama kami?”. Logika yang bagus dan dengan primis yang memang tidak dapat dipatahkan. Akhirnya dengan kecewa, keluarga dari Bali ini harus pulang dengan merelakan anak lelaki mereka “paid bangkung”, menikah dan berubah agama mengikuti agama istrinya.
Kasus kedua yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah dimana suami dan istri memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Manava Dharma Sastra 9.96 sudah sangat tegas mengatakan bahwa suami dan istri harus saling bahu membahu melaksanakan yajna (upacara agama). Jika mereka memiliki keyakinan berbeda, bagaimana mereka dapat melaksanakan yajna sesuai dengan aturan Veda?
Kasus yang kedua ini biasanya terjadi untuk meredam masalah dimana pihak suami atau istri sama-sama bersikukuh untuk mempertahankan agamanya. Namun biasanya yang pada akhirnya kalah adalah pihak Hindu, walaupun yang Hindu adalah suaminya, sering kali anak-anak mereka dididik dengan agama istrinya yang non-Hindu. Faktor utama penyebab ini sudah barang tentu karena Hindu sebagai minoritas di Indonesia tidak memiliki sistem pendidikan yang baik. Dan faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah karena sebagian besar orang Hindu tidak memahami ajarannya dengan baik dan tidak dibekali dengan pemahaman akan ajaran agama yang lain.
Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan majapahit runtuh karena Raja Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.
Menurut sebuah milis pemuda Hindu, saat ini terdapat seorang menteri Hindu yang juga sedang terjerat kasus seperti ini. Dalam keluarganya hanya dialah satu-satunya Hindu, istrinya dan anak-anaknya non-Hindu. Apakah seseorang yang tidak mampu mengendalikan keluarganya sendiri dapat diangkat sebagai menteri dan disuruh mengendalikan departemen? Kasus yang sama juga saya temukan di kota Metro, Lampung. Sungguh menyedihkan ketidakberdayaan lelaki-lelaki takut istri ini. Mereka sama sekali tidak layak disebut sebagai suami (svami).
Jatuh cinta dan menikah dengan lawan jenis yang berbeda agama tidaklah masalah, karena grahasta / vivaha adalah jenjang yang harus dilewati oleh setiap orang yang menjalankan catur ashrama secara normal. Namun untuk melaksanakan pernikahan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma dan tidak juga menyebabkan kita tergerus keluar dari ajaran yang sudah tepat, maka setiap pemuda-pemudi Hindu harus memiliki bekal filsafat Hindu yang benar dan juga memahami ajaran agama yang lain dengan baik. Sehingga apapun argumen memojokkan dari agama lain dapat kita tangkis dan bahkan dibalikkan kembali untuk memperlihatkan kekeliruan mereka.
Jika sistem pendidikan Hindu di Indonesia kuat dan setiap orang Hindu sadar akan pentingnya filsafat maka sudah pasti tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti diatas tadi.
dengan kata lain, jika pendidikan filsafat Hindu dapat dipelajari dan diamalkan dengan baik, kasus itu tak akan terjadi?
Dengan kata lain, “jika cinta tak sejalan dalam agama, apa yang dilakukan?”
Dengan kata lain, agama merupakan pilihan utama yang akan menjadi tuntunan hidup dan cinta..
Maka dari itu, apakah, sekali lagi, dengan kata lain, selanjutnya semua akan secara otomatis menghindarkan kasus2 seperti ini )pernikahan beda agama)?
apa yang terjadi jika memang masing2 pihak tetap menjunjung tinggi (baca : tdk mw pindah agama), apakah cinta harus selalu dikorbankan? apakah hati tak layak untuk dipertimbangkan? apakah agama tidak mengaturnya, Bli?
mohon petunjuk yg lebih terang.
suksma.
Om Swastiastu Dek Sri…
Sadarilah bahwasanya kita bukan badan ini, tapi sesuatu di balik itu semua, yaitu Atman/Jiva. Atman/Jiva adalah bersifat pribadi satu dengan yang lainnya dan hanya memiliki hubungan khusus dengan sumbernya, Paramatman (Tuhan Yang Maha Esa). Hendaknyalah rasa cinta kepada lawan jenis didasarkan pada kesadaran murni, bukan karena nafsu belaka. Bukan karena ketertarikan fisik dan harta benda, tetapi didasari atas keinginan untuk mencapai “Mokshatram Jagathita ya ca iti Dharma”.
Jika masing-masing tetap ngotot dengan agamanya, itu artinya keluarga tidak akan bisa berjalan dengan solid dan terjadi ketimpangan. Yang susah tidak hanya pasangan tersebut dalam melaksanakan ajaran agamanya, tapi juga anak-anaknya yang bingung harus mengikuti siapa. Maka sebaiknya lupakanlah cinta buta itu dan carilah pasangan hidup yang lain yang dapat menuntun kita mencapai tujuan tertinggi. Dunia ini tidak seluas daun kelor…. masih banyak cewek/cowok di luar sana yang mungkin lebih baik… 🙂
Mencintai tidaklah harus memiliki. Kita harus mencintai semua manusia dan semua mahluk hidup ciptaan Tuhan yang sama, tapi kita tidak boleh diikat oleh cinta yang dangkal yang menyebabkan kita lupa akan hubungan cinta yang sejati, yaitu kepada Tuhan. Tetapi manfaatkanlah cinta kepada lawan jenis itu untuk mencapai jagadhita dan moksha.
Andaikan saya mencintai Dek Sri tetapi Dek Sri tidak mencintai saya, apakah saya harus ngotot mengejar-ngejar dan memiliki Dek Sri dengan berbagai cara? Jika benar saya mencintai Dek Sri tanpa adanya nafsu, maka seharusnya saya senang melihat Dek Sri bahagia dengan pilihan Dek Sri, siapapun itu. Nah… itulah salah satu contoh penggambaran “cinta yang sejati” dengan “cinta birahi”. Mari kita coba membedakan kedua hal ini sehingga pesan yang disampaikan oleh sloka dan penjabaran artikel ini dapat kita pahami.
Kalau terdapat kekeliruan pendapat, mohon teman-teman yang lain dapat meluruskannya.
Suksema…
siapa menteri itu prabu???
bpk J*** *****??? he.he.
thx prabu…
maka dr pada itu, kita harus terus berusaha melakukan pembinaan.
salah satu pembinaan yang salah adalah mengatakan bahwa semua agama itu sama. Padahal tidak begitu.
kalau dilihat dari tujuan akhirnya saja sudah jelas sangat berbeda, orang agama lain tujuan akhirnya masih surga, yang penuh dengan kenikmatan duniawi tanpa kenikmatan rohani. Sedangkan Orang Hindu Tujuannya adalah Moksa, jauh di atas surga. Di situ kita bisa merasakan kebahagian yang sesungguhnya bersama Tuhan.
tujuan orang Hindu bukanlah surga. Bagi kita (orang Hindu), surga masih belum ada apa2 nya, surga masih berada di alam material, masih ada penderitaan & kenikmatan duniawi.
Tujuan kita sesungguhnya adalah Menuju Tuhan (Moksa), bukan menuju kenikmatan duniawi.
T O P banget artikelnya, pas banget buat saya yang lahir dan besar di komunitas non Hindu
Good Artikel
setuju bangeet nih….suksme.
Dikutip dari milis sebelah:
Masih Hindu, kampungan banget!!
“Wah, indah sekali ya mbah. Udaranya sejuk, pemandangannya juga elok sekali”, terdengar suara seorang gadis belia setengah berteriak girang. “Iya, disinilah kami setiap hari bekerja setelah emakmu mulai masuk SMP. Hyang Widhi memberikan banyak anugrah ditegalan ini. Dari tegalan ini kami bisa hidup dari bertanam palawija, memandangi lincahnya emak dan pak de mu bermain serta menikmati lukisan yang begitu indah berupa candi Prambanan yang tak pernah goyah oleh zaman” sahut seorang wanita renta yang sudah sedikit bungkuk sambil menggendong bakul. “Memangnya sebelum mama SMP, mbah dan mbah kakung kerja apa?”, tanya gadis belia lagi. Seorang laki-laki tua pun menghentikan langkahnya seraya meletakkan cangkul dari pundaknya setelah mendapat pertanyaan dari si gadis. “Begini nduk, mbah mu kan kesemsem sama mbah kakung saat kami manggung diacara kawinan anak kepala desa diselatan Prambanan. Mbah kakung dulu tampan dan pandai menari, seperti ini neng nong neng gung, gung neng nong neng gung….” jawab pria tua yang dipanggil mbah kakung sambil menari kecil yang serta merta disambut tawa kecil gadis belia dan nenek renta. “Iya Nduk, sejak seumuranmu kami keluar masuk desa sebagai penari. Tapi semakin hari semakin berkurang yang nanggap kami untuk menari, akhirnya kami memutuskan untuk berkebun palawija saja” sambung nenek tua sambil melihat kelangit Prambanan seakan mengingat masa lalunya.
“Coba lihat kearah Prambanan, Nduk. Prambanan merupakan satu-satunya peninggalan leluhur kita yang tidak ikut-ikutan zaman sekarang, banyak masyarakat sekitar yang dulunya Hindu sekarang sudah tidak lagi Hindu. Meskipun sudah banyak kehilangan umat, namun Candi Prambanan tetap Hindu. Jika dulu candi itu ramai oleh umat yang berdoa, kini candi itu ramai oleh pelancong untuk menikmati keindahannya. Banyak sekali para pelancong yang kagum akan keagungan candi Prambanan, meskipun umat kita sendiri mulai luntur kekaguman pada peninggalan leluhur. Setiap menjelang tahun baru saka, candi Prambanan banyak kedatangan umat, banyak yang dari Bali” tutur kakek renta sambil duduk bersandar dipohon nangka. Si Gadis belia yang berkulit putuh bersih memandang kearah yang ditunjuk sang kakek sambil coba memahami cerita yang didengarnya. “Apa yang dilakukan saat tahun baru saka di Pramabanan?” tanya gadis belia sambil merapihkan rambut lurusnya yang berwarna kecoklatan yang terhembus angin. Sang kakek menarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan cucunya. “Tahun baru saka itu tahun barunya Hindu, tahun baru saka merupakan satu-satu tahun baru yang disambut tidak dengan kemeriahan, melainkan dengan keprihatinan. Di tahun baru saka yang zaman sekarang disebut hari raya nyepi, umat justru tidak bepergian, menghentikan kerja, tidak menyalakan api, hanya berdoa dan mengingat perilaku buruk untuk tidak mengulanginya. Sebelum emakmu ke kota, ia dan pak de serta mbah dan mbah kakung selalu berdoa semalaman di Prambanan saat tahun baru saka”.
“Emakmu tidak mau lagi berdoa ke Prambanan sejak ia ke kota, tepatnya setelah ia menikah dengan bapakmu. Kami sangat sedih, karena leluhur akan marah karena keturunannya meninggalkan Hindu. Tetapi karena emakmu memaksa, kami tidak bisa mencegahnya” sambung wanita tua sambil menyeka air yang menetes dari kelopak matanya yang keriput. “Mengapa mbah begitu sedihnya pada mama dan papa, bukannya mbah dan mbah kakung harusnya bersyukur karena mama sekarang hidup berkecukupan, punya rumah besar dan punya mobil?” tanya sang gadis setengah berbisik sambil memeluk wanita tua. “Sampai kapan pun kami bangga pada emakmu sekaligus kami kecewa padanya dan pada kemampuan kami meneruskan pesan leluhur. Kami kecewa padanya, karena ia tidak lagi Hindu dan memaksa kami untuk masuk agama bapakmu sebagai syarat menjadi wali saat emakmu menikah, Kami juga kecewa karena ia telah merubah namanya agar bisa jadi artis, padahal nama itu pemberian buyut mu. Nama asli emakmu adalah Sumiyem dan pak de mu bernama Sarmijan”. Sejak itu kami tidak pernah melewatkan berdoa dan minta ampun pada leluhur di Prambanan saat tahun baru saka, karena kami gagal mendidik emakmu sehingga emakmu meninggalkan agama leluhur” sahut perempuan tua lirih.
“Apakah perselisihan mama dan mbah penyebab mama dan papa melarang Ayu berlibur kesini dan ke Bali?” tanya gadis belia yang dipanggil Ayu dengan nada sedih. “Iya nduk, emakmu takut kamu dan mas mu kembali ke Hindu. Emakmu mungkin keberatan karena kalau kamu atau mas mu ke Hindu, kalian tidak bisa jadi artis dan akan jatuh miskin seperti kami. Begitu pun dengan Bali” sahut laki-laki tua ketus sambil memukul-mukulkan cangkulnya ke akar pohon nangka”. “Betul nduk, selain bangga dan kecewa, kami juga merasa khawatir dengan keluarga kalian di kota, kami yakin leluhur marah. Itu terbukti dengan mas mu yang sekarang masuk penjara karena menjual obat terlarang” sambung nenek tua sambil terisak. “Mbah…., Mas Farel ditangkap polisi karena melanggar hukum, bukan karena leluhur marah. Lagian sekarang zaman sudah modern, sudah tidak zamannya percaya dengan yang begitu-begitu, sudah tidak zamannya menyembah patung. Zamam kerajaan sih orang jawa beragama Hindu, makanya miskin dan dijajah. Sekarang banyak orang jawa yang kaya raya, itu karena mereka berkerja dan ikut perkembangan zaman dan tidak percaya mitos, leluhur, menyembah patung” hardik Ayu dengan lantang.
Suara Ayu yang cukup lantang membuat terkejut kakek-neneknya. Sang nenek menunduk sambil mengusap dada peotnya, sedangkan sang kakek menerawang ke langit lalu memandangi candi Prambanan yang dihiasi awan memutih sedikit mendung. Ia meletakkan cangkul dikiri pohon nangka, lalu mengatur kakinya bersila. “Ya Gusti, Maafkanlah cucuku, maafkanlah kami. Kamilah yang bersalah karena tidak bisa meneruskan ajaran suciMu, hukumlah kami, jangan anak dan cucu kami”. Suasanapun menjadi hening, semua menunduk. Sang kakek menghela nafas dalam-dalam, kemudia berkata “Nduk, kami selalu berdoa agar tercapai apa yang kamu cita-citakan. Dan, biarkan pak de mu tetap Hindu meskipun miskin, serta biarkanlah kami Hindu hingga kami mati. Kami sangat bangga diberi kesempatan berdoa di tahun baru saka, meskipun kami tidak diberikan kemewahan seperti orang kota. Teruskan cita-citamu nduk, mungkin benar bawah Hindu menghambat kamu jadi artis, seperti emakmu”.
Buat direnungkan:
APAKAH AKU, SEORANG HINDU?
KALAU AKU BELUM MENJADI SEORANG HINDU DARIMANAKAH AKU HARUS MEMULAI?
Carilah jawabannya, namun pada saat ini ijinkan aku mengulangi satu stanza dari kitab suci:
Tiada seorangpun tahu apa yang benar dan apa yang salah;
Tiada seorangpun tahu apa yang baik dan apa yang buruk;
Namun ada satu dewa yang bersemayam dalam dirimu;
Temukan dan ikuti perintah-perintahnya.
@Putra
Thanks bli Putra… suatu renungan yang sangat berguna buat kita semua…
@Bli Putra:
sepertinya saya pernah membaca artikel tersebut dalam sebuah blog….
menarik sekali…..
@Bli Putra
Thnx a lot Bli,,…tyang juga pernah baca sekilas klo ga salah di milis cyber dharma
renungan yang sangat berguna..
semoga Semua berbahagia…Saya adalah salah satu orang yang paid bangkung karena alasan klasik bernama CINTA….saya lahir dan besar dalam tradisi Budhis (Ayah saya adlah Pedeta Budha di Bali utara)…awalnya sangat berat menjadi orang Hindu BALI…hrs berkutat dgn banten, caru dan teman-temannya. Bayangkan saja…jangankan hrs mecaru dgn membunuh hewan….melihat, mendengar mahluk dibunuh saja sdh seminggu saya tdk bs makan dan tidur…awalnya saya ingin mundur jd agama Hindu…tetapi setelah banyak membaca buku – buku ttg Veda saya br sadar klo ternyata Hindu itu juga indah…bahkan sangat indah…dan saya jadi lebih bersemangat lagi krn ternyata sdh ada sdr Ngarayana yg siap mendukung saya…Smoga Hindu akan menjadi sebuah agama yg besar yang Terhormat dan mulia karena tidak lagi menggunakan mahluk lain sebagai Tumbal kebahagiaannya…Om Santi Santi Santi Om…
@Bu Sri
harusnya bu Sri Bukan Paid Bangkung tapi Paid Kaung, 🙂
OSSSO
good ….smg kesadaran tentang agama hindu semakin kuat….
@ sri.mulyawati: jika engkau dulu mencintaiku, aku lakukan apapun agar dikau bahagia. Aku tunggu J****mu. Salam………
@ sri mulyawati
kalau ngga salah, di dalam bhagavad gita ada sloka yang menyebutkan bahwa Tuhan sendiri menganjurkan agar menghindari pemujaan Beliau dengan menyakiti sesama mahkluk hidup
sorry gw lupa slokanya, mungkin bro Ngarayana bisa membantu
4.33 Wahai penakluk musuh, korban suci yang dilakukan dengan pengetahuan lebih baik daripada hanya mengorbankan harta benda material. Wahai putera prtha, bagaimanapun, maka segala korban suci yang terdiri dari pekerjaan memuncak dalam pengetahuan rohani.
8.28 Orang yang mulai mengikuti jalan bhakti tidak kekurangan hasil yang diperoleh dari mempelajari veda, melakukan korban suci dengan kesederhanaan dan pertapaan, memberi sumbangan atau mengikuti kegiatan di bidang filsafat atau kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala. Hanya dengan melakukan bhakti, ia mencapai segala hasil tersebut, dan akhirnya ia mencapai tempat tinggal kekal yang paling utama.
10.25 Di antara resi-resi yang mulia, Aku adalah Bhrgu; di antara getaran-getaran suara Aku adalah om yang bersifat rohani. Di antara korban-korban suci Aku adalah ucapan-ucapan nama-nama suci Tuhan[japa], dan di antara benda-benda yang bergerak Aku adalah pegunungan Himalaya.
16.1-3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; kebebasan dari rasa takut; penyucian kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan korban suci; mempelajari veda; pertapan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran; kebasan dari amarah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencari-cari kesalahan; kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup; pembebasan dari loba; sifat lembut; sifat malu; ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; kebebasan dari rasa iri dan gila hormat-sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan sifat rohani, wahai putera Bharata.
Dan masih banyak lagi penjelasan yang lain dalam bab 17..
Dan yang menark di sini adalah Bhagavad Gita 10.25, disana dikatakan korban suci yang paling tinggi adalah mengucapkan nama-nama suci Tuhan (Hari-nama Sankirtana)
😀
Klo hal bunuh membunuh, saya rasa itu salah satu aspek dr keseimbangan. Jadi bila itu anggap bertentangan dg hati nurani anda, ya Jangan dilakukan. Didalam kata berkorban/yadnya, saya rasa, tidak pernah tu yadya ke Tuhan, paling banter ke dewa, yg dikenal dg Dewa Yadnya. Sedangkan kita tau, bahwa dewa itu setara dengan kita…..Jadi penghargaannya pun harus juga bersifat material.
Ttg caru….. Saya ingin bertanya… Bila anda akan bertemu orang yang cukup penting bagi anda, kira2 apa mungkin anda akan menjamu beliau dengan hal yang anda sukai saja? Tentu anda akan mengistemewakan sedikit, ya kan? Kalau beliau ternyata suka daging babi, maka apa yg anda lakukan? Memberikan/menggantinya? itu terserah anda bukan?
Lalu bila ada orang lain yg memberikan beliau daging babi, padahal anda tidak memberikan, maka apa bisa anda menyalahkan orang itu?
Jadi butuh kedewasaan dlm menyikapi sebuah sikap penghargaan… Yang paling kita tidak setujui klo kita melakukan pembunuhan dengan perhitungan ngawur. Karena kita juga tidak bisa memungkiri bahwa pembunuhan itu aspek keseimbangan dan jalannya Hukum Karmapala.
Seperti misalnya gini, Kita sdh direncakan olehNya Tuhan, bahwa kita turun jadi Bebek, dimana harus mati kerena disembelih u/ dimakan. Sekarang bagaimana klo tidak ada atman lain yang mau melakukan itu? Dapat dibayangkan to……. Terhentinya hukum karmapala itu.
Met Tumpeg Landep