Sejak hampir sepuluh tahun yang lalu para tokoh-tokoh di Bali selalu mendengung-dengungkan kata “Ajeg Bali”. Istilah ajeg Bali dicetuskan oleh seorang bos media masa Bali Post, dan Bali TV asal Lumajang, Tabanan. Ide awal didengungkannya istilah ajeg Bali ini adalah dari kekawatiran akan lenyap dan tergerusnya budaya Bali dari pulau Bali mengingat rongrongan budaya asing yang begitu kuat. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa jika pemuka masyarakat Bali hanya berpangkutangan menyaksikan getolnya para misionaris dan kaum dakwah melebarkan sayapnya di pulau Bali, maka pulau Bali hanya akan tinggal kenangan. Namun, sudahkan usaha Ajeg Bali yang berlangsung hampir sepuluh tahun ini menunjukkan buahnya?
Seorang editor majalah News Week yang juga merupakan salah seorang keturunan keraton Solo, Surya Sasongko bercerita disela-sela kesibukannya mengurus Art Shop miliknya yang berlokasi tidak jauh dari alun-alun utara keraton Jogja. Beliau mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi Indonesia dan Bali saat ini. Beliau menceritakan tiga puluh tahunan yang lalu saat diajak ibu dan ayah tirinya ke Amerika Serikat, beliau masih melihat budaya Indonesia yang sangat menawan. Beliau melihat pulau Bali masih “cukup perawan”, indah dan masih layak menyandang predikat pulau Dewata. Namun apa yang terjadi saat beberapa tahun yang lalu ketika beliau kembali ke Indonesia? Katanya, Indonesia benar-benar berubah 180 drajat. Kota Solo dan Jogja yang dulunya dipenuhi dengan penduduk yang mengagungkan budaya jawa dan kearifan lokal telah berubah menjadi tidak ubahnya seperti negara Arab. Pulau Bali yang dulu masih asri, dihiasi dengan banyak pura, arsitektur Bali dan penduduknya yang ramah sekarang dihiasi dengan banyak bangunan-bangunan suci “tetangga”. Kota Denpasar yang dulunya hening dengan kidung dan geguritan lokalnya sekarang riuh dengan “irama import”. Penduduknya yang dulunya terkenal jujur dan ramah sekarang sudah menjadi acuh tak acuh. “Kemanakah Jogja, Solo dan Bali yang dulu saya kagumi?” Ujarnya. Tentunya bapak Surya Sasongko bukanlah satu-satunya orang yang merasakan fenomena ini, saya yakin anda semua yang sudah lama merantau keluar Bali atau Indonesia dan memandang secara flash back kondisi Indonesia dan Bali saat ini akan mengungkapkan hal yang serupa.
Lalu apa yang salah dengan ajeg Bali? Apakah program ajeg Bali terlambat mengatasi pengaruh negatif dari luar ataukah ajeg Bali memang tidak punya daya dan mandul?
Ada sangat banyak tokoh-tokoh Bali yang tanpa pambrih berusaha keras memperjuangkan kelestarian pulau Bali, tetapi ternyata usaha-usaha mereka tetap seperti jalan ditempat. Karena itu pastilah ada yang salah dengan slogan ajeg Bali yang senantiasa kita dengung-dengungkan selama ini.
Pada dasarnya Bali masih ada sampai saat ini hanya karena beruntung. Bali tetap ada lebih karena power dari luar, bukan karena inner power yang masyarakat Bali miliki. Sebagaimana surat berupa lontar bertanggal 1935 yang disampaikan raja Kelungkung selaku wakil raja-raja Bali kepada orang-orang Portugis di Malaka dimana dia menyatakan “Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”. Namun untungnya pada masa itu penjajahan kolonial Hindia Belanda menetapkan undang-undang yang melarang para misionaris melakukan kristenisasi di Bali sebagai mana yang tercantum dalam pasal 177. Andaikan saja Belanda tidak melindungi Bali pada waktu itu, maka sebagian besar masyarakat Bali sudah menjadi Kristen. Kenyataan ini dapat kita saksikan pada saat undang-undang pelarangan Kristenisasi dicabut dan para misionaris dengan leluasanya menyebarkan ajarannya di Bali dalam waktu singkat beberapa banjar di daerah Dalung menyatakan diri sebagai Kristen. Keberadaan mereka menjadi samar-samar setelah adanya program transmigrasi dimana sebagian dari mereka ikut terbawa dan menyebar ke luar Bali.
Dewasa ini, pertahanan budaya Bali yang terakhir hanyalah sistem adat hasil kerja keras Mpu Kuturan beberapa ratus tahun yang lalu. Masyarakat adat sering kali memberikan sangsi moral kepada penduduknya yang keluar dari adat. Namun apakah sistem adat ini masih relevan dengan kondisi Bali yang saat ini sudah dipenuhi oleh pendatang?
Saat ini sistem adat bahkan diindikasikan menjadi titik lemah dalam pelestarian Bali di beberapa daerah, terutama di daerah perkotaan karena adat hanya membebankan kewajiban secara parsial kepada orang-orang yang bermukim di daerahnya. Para pendatang sama sekali tidak terkena hak dan kewajiban dari adat, sehingga implikasinya, sering kali terjadi kecemburuan sosial bagi masyarakat asli dan merupakan celah lebar untuk keluar dari adat. Orang Bali tidak ubahnya hanya dijadikan sapi perah yang menelurkan berbagai seni budaya dan hanya dijadikan “objek pertunjukan” bukan sebagai subjek. Subjek penikmat dari semua itu hanyalah para investor asing. Oleh karena itu, beberapa masyarakat Bali intelek tetapi tidak dibekali dengan pemahaman agama yang baik sering kali berkata; “Buat apa mengikuti kewajiban adat yang sangat memberatkan kalau seandainya keluar dari adat dengan cara menjadi pemeluk agama lain tidak masalah sebagaimana halnya penduduk pendatang?”. Dengan kondisi ini, siapa yang akan kita salahkan?
Para misionaris yang memiliki pendanaan yang sangat besar saat ini sangat aktif bergerilia “menyelamatkan” masyarakat Bali. Sektor pendidikan dan ekonomi mereka sudah mencengkram Bali. Mereka lebih sering mempengaruhi masyarakat yang secara ekonomi terbelakang dan juga masyarakat yang merasa terbebani oleh adat. Bahkan kesulitan akan area pemakaman yang dulu pernah terjadi karena adat melarang penduduknya yang berada di luar adat dimakamkan di sana telah teratasi dengan penyediaan area pemakaman khusus bagi mereka yang keluar adat. Bagaimana tidak, walaupun secara hukum adat semua tanah yang terletak di wilayah adat adalah milik adat, namun apakah itu sejalan dengan hukum kepemilikan tanah di negara kita? Jadi wajar kita pura dan kuburan masyarakat Bali dibeli dan dijadikan “tempat ibadah dan kuburan lain”. Sementara itu untuk menyiasati kemelekatan masyarakat Bali pada aspek budaya yang dianggap unggul dan memiliki nilai jual keluar, para misionaris juga melakukan pendekatan budaya. Mereka melakukan promosi agama dengan memperlihatkan akulturasi dengan budaya Bali, mulai dari seni tari, musik sampai kepada tempat sembahyang yang “disamarkan” menyerupai “pura”, tetapi berlambang salib. Benar-benar kamuflase yang luar biasa yang siap mengecoh para masyarakat Bali yang “bodoh”.
Lalu bagaimana menyiasati masalah ini? Dapatkah masyarakat Bali tetap bertahan dengan keindahan adat istiadat, kesenian dan budayanya tanpa adanya Hindu di sana? Apakah dengan menggantikan sistem kepercayaan Hindu dengan agama lain seperti contohnya kepercayaan Kristen kedalam budaya Bali akan menyelamatkan Bali dari kehancuran?
Untuk mencoba membuat hipotesis akan hal ini, mari kita coba melihat sejarah Bali ke belakang. Apa dan bagaimana Bali di bangun serta apa yang menjadi daya jual Bali kepada masyarakat macanegara.
Terlepas dari kontroversi bagaimana sejarah Bali sebelum adanya hubungan pulau Bali dengan kerajaan-kerajaan dari jawa, tercatat bahwa pada masa pemerintahan Mpu Sendok (988 M) di Bali sudah berkembang ajaran Veda yang sangat kuat. Hampir semua cabang aliran Veda berkembang subur di pulau Bali. Tercatat bahwa ada sembilan paksa yang berbeda yang berkembang saat itu, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Buddha). Bahkan jauh sebelum itu ternyata sudah terjadi hubungan yang sangat erat antara Bali dengan orang-orang dari berbagai belahan di dunia, termasuk India dan China yang dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan lontar dari sekitar gunung Batu Karu, Tabanan. Lontar tersebut mengisahkan bahwa pulau Bali sudah menjadi tujuan dharma yatra dan pertapaan orang-orang suci sejak dahulu kala. Lontar tersebut juga memberikan informasi yang mengatakan bahwa di Bali sudah berkembang dua pedepokan spiritual dan oleh kanuragan yang disegani di seluruh penjuru dunia, yaitu perguruan Bulan Matahari dan perguruan Bulan Sabit. Hanya saja akibat permusuhan yang tidak berkesudahan akhirnya kedua perguruan ini berperang sampai titik penghabisan sehingga hampir tidak ada satupun dari mereka yang selamat. Namun dikatakan bahwa ternyata ada seorang murid Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang selamat dari perang tersebut walaupun dengan luka yang teramat parah. Murid inilah yang akhirnya melahirkan perguruan silat, tenaga dalam dan meditasi “Suling Dewata” sebagaimana yang bisa kita temukan di Batu Karu saat ini. Disana juga dikatakan bahwa ajaran Kung Fu Shaolin memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pencak silat tersebut.
Pada saat pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, terjadi banyak kemelut di pulau Bali. Raja kesulitan dalam mengendalikan rakyatnya baik karena adanya banyak masab dan juga karena tingkah polah masyarakatnya. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan mpu Genijaya. Yang paling bungsu, Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.
Kedatangan empat Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, yaitu sebagai Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan dan sebagai Ketua majelis Pakira-kira I Jro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat. Akhirnya Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat besar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok dan masyrakat. Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan–perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang, yaitu;
- Paham Tri Murti dijadikan dasar pemujaan pada Visnu, Brahma dan Siva karena dianggap dapat mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu, terutama paham Sivaism dan Vaisnava yang merupakan paham terbesar saat itu.
- Diadakan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, dan untuk menerapan paham Tri Murti tersebut, didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu: (a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam material, (b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, (c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina. (d) Disamping itu, didirikan juga tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
- Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
- Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
Jika kita perhatikan dalam hasil pesamuhan agung tersebut terlihat jelas bagaimana usaha Mpu Kuturan menyatukan masyarakat agar dapat bermasyarakat secara lebih kompak dalam berbagai lini kehidupan sosioreligius, dan hal inilah yang menjadi warisan tak ternilai bagi masyarakat Bali saat ini. Hal yang menarik disini, ternyata Mpu Kuturan tidak semata-mata ingin menyatukan berbagai aliran yang berbeda dan mewujudkan masyarakat yang harmonis secara material, tetapi juga mengembalikan kehidupan masyarakat Bali yang pada waktu itu dapat dikatakan kacau untuk kembali ke dalam ajaran Veda yang otentik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikasi sebagai berikut:
- Penyembahan kepada para dewa dialihkan menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Esa yang disebut sebagai Sang Hyang Widhi Wasa (Widhi = Vidhi = Yang Maha Kuasa).
- Meskipun masyarakat diarahkan untuk bersembahyang bersama-sama dalam khayangan tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem), namun secara cerdas Mpu Kuturan telah membagi area desa pekraman kedalam tiga area, yaitu Utama Mandala dan Madya Mandala yang merupakan area pura Desa dan Pura Puseh dan Jaba mandala yang merupakan daerah pemukiman, pertanian, kuburan dan termasuk pura Dalem yang selalu terletak dekat dengan kuburan. Yang distanakan di Pura Puseh (utama mandala) adalah Sri Visnu Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan original creator of all think. Dewa Brahma yang merupakan mahluk hidup pertama dan bertindak sebagai second creation diposisikan di pura desa/Bale Agung (madya mandala) dan Dewa Siva yang juga merupakan Tama Guna Avatara diposisikan dekat dengan kuburan. Konsep penempatan arena pemujaan ini sangat sesuai dengan sastra Veda (Tri Guna Avatara).
- Dalam tataran rumah tangga, dengan pembangunan tempat suci keluarga berupa rong tiga akhirnya mendorong setiap orang memuja Tuhan Yang Esa yang disebut Hyang Widhi.
- Padma Sana juga didirikan dengan menempatkan Kurma Avatara (penjelmaan Tuhan) sebagai dasar dan menempatkan Burung Garuda Visnu di bagian belakangnya.
- Semua mantra-mantra dalam upacara juga menggunakan kata “Om Tat Sat”, yang mengacu kepada Tuhan, Bhagavan. Sebagaimana dikatakan dalam Bhagavad Gita 17.23; “17.23 Sejak awal ciptaan, tiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra veda dan pada waktu mengaturkan korban suci untuk memuaskan yang Mahakuasa”.
- Konsep Garuda Visnu Kencana juga menjadi maskot Bali yang paling utama.
Intinya, beberapa indikasi “terselubung” tersebut mengarahkan masyarakat Bali kembali ke ajaran Veda dan hal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam budaya Bali. Lalu mungkinkah budaya Bali dipertahankan jika pondasi dasarnya, yaitu Veda tergerus dan hilang dari Bali dan digantikan dengan dasar agama yang lain?
Jika kita ingin membangun Bali dari awal dengan wajah yang berbeda yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan Bali yang dibangun oleh Mpu Kuturan, maka tidaklah masalah menggantikan ajaran Veda dengan ajaran yang lain. Namun jika kita menginginkan Bali yang ajeg yang sebagaimana yang ada sekarang dan sebelumnya, maka tidak ada opsi lain kecuali kembali ke ajaran Veda. Pura kayangan tiga tidak akan bermakna jika dirubah menjadi tempat suci lain, malahan akan mengacaukan konsep Tri Mandala. Garuda Visnu Kencana yang mendunia tidak akan berarti apa-apa jika di “jidat”-nya harus dipahat lambang agama non Vedic. Padmasana akan kehilangan roh-nya jika lambang Tuhan yang disebut “Acintya” digantikan dengan salib. Seni tari dan lukisan yang didasarkan pada Hindu akan menjadi tanpa makna jika pondasi ajaran Hindu dihilangkan.
Jadi, jika anda adalah pemuda Bali atau orang yang masih menginginkan Bali terus ada, kembalilah ke ajaran Veda, gunakan Veda sebagai pondasi dalam melakukan berbagai hal di Bali. Membanggakan seni budaya dan keindahan Bali tanpa menjaga roh-nya, Veda hanyalah merupakan kebanggaan semu. Lalu bagaimana langkah kongkrit kembali ke ajaran Veda? Terapkan ajaran-ajaran dasar dari Veda. Segera hentikan segala tindakan yang menyimpang dari ajaran Veda seperti;
- Penyimpangan sistem Varna Asrama yang dijadikan sistem wangsa
- Lenyapkan prostitusi, tindakan asusia dan segala hal yang bersifat asurik
- Hentikan sambung ayam berkedok caru di pura-pura
- Jangan menjadikan “mekemit” sebagai alasan untuk melakukan perjudian “ceki” atau domino di tempat suci.
- Tegakkan desa pekraman dan sistem adat dengan benar. dll.
Intinya, mari kita bentengi Bali dari dalam dengan kembali ke basic, yaitu ke ajaran Veda yang otentik. Hilangkan kata-kata “nak mulo keto” (memang seperti itu) dari kamus kita, kembalikan sistem pendidikan gurukula (pasraman) dalam tatanan desa pakraman dan terapkan sistem Varnasrama dan Catur Asrama dengan tepat. Jika tidak, mari kita persiapkan hancurnya “Pulau Dewata” yang kita bangga-banggakan selama ini.
Budaya dan tradisi tanpa kesadaran adalah kekonyolan, dan pemaksaan pewarisaan kekonyolan adalah himsa karma.
Masyarakat Bali terkorupsi dalam budaya sendiri, menggunakan istilah ajeg Bali, memperbanyak polesan, namun melupakan intisari budaya itu sendiri.
setuju ngara, saya sudah melihat hal seperti ini sebagai indikasi berkurangnya umat hindu di bali
teruskan kritik terhadap bali, karena menggkritik bali bukan berarti membenci tapi mencintai bali
mudah2 Tuhan menghendaki Pulau Bali kita exsist..semoga pikiran baik/jernih datang dr segala penjuru….haribol
Hanya bisa menghela nafas…
Ya Hyang Vidhi,semoga smw manusia yg mengaku berdarah bali sadar akan hal ini..astu svaha.
artikelnya bikin merinding…:( setuju banget! saya juga prihatin dengan kondisi bali sekarang ini dan kedepannya. Yah..sudah takdir kali seperti digariskan dalam weda sebagai jaman Kali Yuga. Semoga saja masyarakat bali menyadari hal ini dan berintrospeksi diri.
Mari kita mulai dengan memperkuat ajaran veda pada diri kita terlebih dahulu lalu keluarga dan kemudian ke masyarakat…semoga….:)
Ini blog anti penghancur Bali: http://vedasastra.wordpress.com/2010/03/15/akibat-memeluk-agama-hindu/
Ini memang akibat dari berkurangnya umat Hindu di Bali …
http://vedasastra.wordpress.com/2010/03/20/dalih-toleransi/
Saya kira yang diperlukan bali adalah action yang tulus ikhlas, Para pendahulu kita mencipta sesuatu, memuja, dengan tulus ikhlas dan dengan semangat persembahan (matur suksma)pada hyang widhi…..
sekarang berbuat hanya untuk mendapatkan imbalan (uang), biaya hidup, gengsi, prestise
PSK dan Cafe remang-remang telah masuk ke desa Pekraman yang merupakan awal dari kehancuran generasi muda umat Hindu, bahkan yang kena HIV dan AIDS semakin bertambah setiap saat, apakah ini yang dimaksud ajeg bali ??? suksma.
Dear All,
Ini sebuah cerita berulang tentang budaya tua , dulu dibali sebelum Raja dan budaya Hindu jawa menjajah bali hal ini pun dikhawatirkan oleh penduduk Bali yang lebih awal
Mereka akan dihancurkan dan digantikan oleh budaya yang lebih maju (efficient dan effective berdasarkan kaca mata kekinian).
Hindu kini mendapat musuh yang sama dengan Agama yang lain
Budaya pada kecintaan materi begitu mendapat support atau pupuk yang dahsat saat ini oleh system yang menguasai dunia dan juga pemerintahan dibali, bersenang-senang adalah ritual yang paling ditaati dan dengan keihklasan dan semangat pengikut ini melaksanakannya, sehingga membikin jengah/ngiler calon pengikut berikutnya dan ketika si-pengikut ini terlihat menumpuk dan memamerkan harta kekayaannya maka jadilah bertambah pengikut ini, perlombaan penumpukan dan pameran kekayaan menjadi pacuan tampa ujung menyeret lebih banyak dan lebih banyak lagi setiap kali waktu bergeser.
Pengabdian, pengorbanan apalagi sepuluh pantangan untuk mencapai tingkatan rohani menjadi selogan pembodohan bagi mereka. Hai itu akan berujung pada ketidak nyamanan dan beban dan akhirnya terkurasnya kekayaan dan hilangnya kesenangan.
Selain itu Hindu membenarkan penyembahan banyak tuhan atau politeisme
Padahal kini umat manusia sudah menyaksikan/meyakini bahwa ada yang menciptakan Jagat raya ini dan tentunya Dialah Tuhan Yang Esa.
Bagaimana tidak Weda yang berbunyi kurang lebih “ penyembah dewa akan bersama dewanya, penyembah leluhur akan bersama leluhurnya” menjadi dasar pembenaran hindu akan politeisme.
Andaikan dewa dan leluhur yang disembah tersebut moksa/bersama tuhan maka semua penyembah dewa dan leluhur itu tentu juga Moksa bukan?
Bukankah tidak perlu menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan Bukankah politeisme berarti dibenarkan.
Hindu harus berjuang untuk mengalahkan pecinta kesenangan dan kekayaan dan juga harus berani merevisi ajaran-ajaran yang tidak sejalan dengan prinsip hanya menyembah Tuhan yang maha Esa. Perlu ketegasan untuk memberikan hukuman kepada penyembah selain Tuhan yang Maha Esa kalau tidak maka manusia kehilangan pengikat untuk menjalankan dan menuju Rohani yang lebih baik.
Damai selalu lebih baik
efendi
BG. 9.23 Orang yang menjadi penyembah dewa-dewa lain dan menyembah dewa-dewa itu dengan kepercayaan sebenarnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka berbuat demikian dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti.
Hindupun tidak sepakat dengan penyembah dewa bro Efendi… cuman mereka masih terlalu bodoh… jadi wajar aja…
Bukannya filsafat Hindu (Veda) tersusun dari beberapa stage? nah yang masih menyembah para dewa ada pada level material… 😀
@efendi
cuma sekedar usul saja,di terima ya bgus,tdk di trima pun ga apa2..
Coba buka ayat2 bhagavad gita bab per bab,bca dgn hti yg terbuka,jauhkan dr dogma anda agama anda,dlm slh stu ayat veda,ada yg menybtkan,veda takut di dkati sama orang bodoh,krena veda merasa orang bodoh tsb akan menendangnya..,ga perlu kq berganti kyakinan bwt membaca bhagavad gita..dgn hati yg terbuka,astungkara anda akan mengerti maksud dr sloka tsb.
damai selalu memang slalu lbh baik…
@ efendi
tahu ngga artinya moksa?….kalau ngga tahu, jangan sok tahu
moksa adalah kondisi/keadaan kembalinya sang atman kepada sang paramaatman
atman adalah jiwa yang memberi kehidupan bagi setiap mahkluk hidup, paramaatman adalah Tuhan…jadi kalau datang ke dewa berarti ngga moksa tetapi hanya sampai ke alam dewa….kalau datang ke roh pohon maka akan sampai ke alamnya si roh pohon….dst
masalahnya alam deva, alam roh pohon, dan alam-alam lain adalah ciptaan Tuhan sehingga atman yang ada di alam-alam tersebut akan terus mengalami proses hukum Tuhan yaitu reinkarnasi…..proses reinkarnasi terputus hanya pada kondisi moksa….
kalau baca veda jangan setengah-setengah ya….runyam akibatnya…
Dear @toshiya
Terima kasih atas responnya, namun saya ingin melanjutkan diskusi ini dengan mengemukakan argumen untuk tidak sejalan sbb:
di bhagavad gita juga ada sloka yang artinya kira-kira begini :
apabila engkau memuja leluhur maka engkau akan datang kepada leluhur
apabila engkau memuja dewa maka engkau akan datang kepada dewa
apabila engkau memuja Aku maka engkau akan datang kepada_Ku
Dari dulu jika kita teliti Hindu dibali adalah Politeisme berikut adalah
ucapan turun temurun para pemangku di Bali dalam memimpin upacara sembahyang ucapannya seperti ini;
“Ainggih sesuhunan tityang sane melinggih deriki. Ida betara Wayan, Ida betara Ketut, Ida betara Nyoman sane ngembel jagat, presidake I ratu nyingakin panjak I ratu, mangda sida I ratu ngicenin kerahayuan, ngicenin wangsupada druwene lan nyarengin kijake panjak I retune nunas merta”.
Terlihat disini mereka menyembah bukan Tuhan yang Maha Esa tapi mereka pengamal veda dengan penafsiran lebih original dan lain dari saudara @toshiya. Mereka politeisme.
Mereka yang salah ?, Justru Hindu barulah yang telah berubah, kemajuan ilmu pengetahuan telah mempengruhi cara mengambil kesimpulan, sehingga tidak nyaman dengan pandangan atau penafsiran lama karena jerih akan bertentangan dengan apa yang telah dicapai Ilmu Pengetahuan.
Kalaupun penafsiran yang dipakai adalah lingkungan tempat leluhur yang disembah yang dituju, maka coba kalau kita mau sedikit berpikir.
Leluhur ini sudah tentu melewati/berada di beberapa lingkungan /tempat tinggal/alam sesuai dengan hukum reinkarnasi dan tentu lingkungan yang paling lama/dominan yang di tempati adalah bersama Tuhan/moksa.
Lingkungan keberapa atau yang mana yang dimaksud @toshiya, dari banyaknya lingkungan yang sudah ditempati leluhur yang disembah tsb?
Jika kita andaikan waktu/lamanya kehidupan leluhur yang disembah itu sebuah kanvas yang berwarna putih dan tentu ada noda/titik warna hitam, merah dll. Jelas warna Putih adalah waktu leluhur bersama tuhan dan noda hitam, noda merah dll adalah waktu yang dihabiskan leluhur dilingkungan sebelum bersama tuhan, lalu apakah kita katakan kanvas itu berwarna merah atau leluhur kita berada di warna merah. Tentu tetap saja lingkungan yang dominant adalah bersama tuhan atau lingkungan leluhur itu bersama tuhan.
Damai selalu lebih baik
efendi
@ efendi
saya masih tidak setuju dengan sejarah yang mengatakan bahwa dulu Bali adalah pulau kosong dimana penduduknya adalah kaum animisme dan dinamisme dan dikatakan mereka menyembah batu besar (megalitik). Apa memang benar leluhur kita sebodoh itu? Apa memang benar bangsa indonesia tidak meyakini ada sesuatu yang agung yang maha kuasa, maka segalanya? Mengenai ini, terdapat satu lontar yang ditemukan di daerah gunung Batu Karu, Tabanan yang sekarang dijadikan pustaka dalam pengembangan perguruan seluring dewata. Disana dikatakan bahwa sejak jaman purba, gunung batu karu sudah dijadikan ajang “pertemuan”, tirta yatra dan dharma yatra oleh berbagai rsi dan sadhu di berbagai belahan dunia. Inilah efek karena kita terlalu percaya pada orang barat yang mengemukakan teori-teori seperti ini. Dengan kita mempercayai begitu saja, maka kita sudah memandang bangsa kita lebih rendah dari pada orang barat bukan?
menurut saya, Bali saat ini ada pada titik paling lemah bukan karena ajaran Hindu yang lemah, tetapi karena orang-orang Bali yang mengaku sebagai Hindu tidak menjalankan ajaran Hindu dengan sebaik-baiknya. Kebanyakan mereka malahan tidak tahu akan apa itu Hindu dan bagaimana ajaran kitab suci mereka. Semuanya hanya di dasarkan atas gugontuon dan kata hati yang belum tentu tepat menurut sastra agama.
Seperti contohnya sloka yang saudara efendi kutipkan mengenai penyembahan terhadap para dewa dan bagaimana membedakan penyembahan kepada Tuhan. Veda sudah dengan tegas menyatakan hal ini, tetapi memang benar bahwasanya masih banyak orang Hindu yang tidak memahaminya.
Sekali lagi, Hindu tidak mengajarkan politeisme, tetapi monoteisme murni. karena itu dalam Bhagavad Gita 9.25; “Orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara para dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku”. Pada dasarnya adalah “peringatan halus” untuk semua manusia agar memuja Tuhan. Sekaang terserah manusianya, apakah dia mau menjalankan perintah ini atau tidak.. kalau tidak mau memuja Tuhan, maka mereka tidak akan mencapai kebahagiaan sejati dan kekal.
Sebenarnya sama halnya seperti orang tua yang mendidik anaknya. Jika anaknya masih kecil maka perintah yang keras dan tegas sangat diperlukan. Tetpi disaat sang anak sudah dewasa, bagaimana orang tua memberikan petuah pada anaknya? apakah ancaman pecut dan pukulan bisa menyadarkan mereka? bukankan lebih bijak jika digunakan kata-kata yang lebih halus? coba kalau anak anda yang sudah sangat dewasa dipecut dan dipukul.. jangan-jangan mereka akan balik mukul juga… he..he..he..
Kitab suci veda tidak bisa direvisi seperti itu oleh manusia, hanya Tuhan melalui avatara-nyalah yang berwenang melakukan semua itu. tetapi itupun sepertinya tidak pernah terjadi sampai saat ini. Yang perlu direvisi adalah pemahaman umatnya yang keliru.. ya kan?
Sekarang pilihan orang Bali adalah kembali ke ajaran Veda atau hancur karena mengindahkan ajaran agamanya… 🙂
Salam,-
Ngarayana
Om swastyastu
cuman ikut nimbrung neh…
@efendi & @toshiya = politeisme vs monoteisme.
saya setuju dengan keduanya, ada benarnya kedua faham tersebut berjalan di bali, tetapi akan menjadi salah jika ada `miss understanding`. leluhur?dewa-dewa?tuhan yang maha esa?
kalau menurut saya nie (klo salah mohon diluruskan bersama), tujuan utama Agama Hindu = Moksa (menyatu dengan-NYA), pertanyaannya `-NYA` itu siapa??`-NYA` = Acintya, jd buang2 waktu klo membahas itu. pemujaan leluhur, pemujaan dewa-dewa (politeisme)benar selama orientasi kita tetap mengarah pada`-NYA`. Orang-orang Bali yg menerapkan pemujaan politeisme ini percaya bahwa dengan memuja leluhur dan dewa-dewa akan dapat `menghubung`kan diri dengan `-NYA`. dan politeisme akan menjadi salah ketika orientasi mereka hanya `mentok` pada apa yg mereka puja (leluhur,brahma,wisnu,siwa, etc).
ibarat sistem otonomi, kita tidak dapat secara langsung `menyentuh` presiden (`-NYA`), lurah,camat,bupati,gubernur yg akan menyampaikan kita pada presiden.
sekarang hanyalah masalah cara pandang kita sebagai umat hindu, karena banyak orang yang merasa sudah amat mengerti, padahal mereka tidak (termasuk saya mungkin, ehehe mohon bimbingannya). karna setau saya konsep pemujaan kita dibali dibagi menjadi : matha,pitha,guru,dewa. mulai hormat ibu, bapak, guru (orang suci),dan dewa. guru tidak akan dapat memberkati orang yg tidak hormat pada orang tuanya (leluhur), dewa pun tidak dapat memberikan anugrah pada orang yg tidak menghormati orang suci, yang pada akhirnya tujuannya untuk mendekatkan diri pada -NYA.
so politeisme untuk monoteisme. cheer up….
mohon bimbingannya.
Om Santi Santi Santi Om
salam Kidz
Tyang sndr,msh jauh dri qualified sbg bhakta dr Tuhan nan asli..tyang sdar tyang msh di ikat dan diliputi keakuan dan ego,rasa marah,sdih dll,tyang percy reinkarnasi,jd biarkan waktu yg membimbing saya…itulah indahnya Hindu,Tuhan dlm Hindu tdk egois,Beliau selalu memberi kesempatan bwt umatnya mnju ke arah yg lbh baik tanpa harus di paksa,tnpa hkuman neraka abadi dll…nasehat yg slalu dberikan orang tua tyang..cening,ampunang cening engsap tken pitara,bhatare lan Hyang Parama Wisesa(anakku,jangan kmu lupakan kwajibanmu memuja leluhur,para dewa dan Tuhan Yang Esa)..ini sesuai dgn sikap maharaja dhasarata ayahanda dr avatara Ramacandra dlm kitab ramayana yg bhakti trhadap leluhur,selalu memuja para dewa serta tdk pernah lupa mengagungkan kebesaran Nama2 Tuhan..
AUM NAMA SHIVAYA
AUM NAMO BHAGAVATE VASUDEVAYA..
@efendi:
Saya ikutan ya pak….. 🙂
Jika melihat hal seperti ini seharusnya bpk membaca bab IX dari Bhagawadgita itu secara keseluruhan dan jangan hanya melihat pada sloka IX.25 aja, maih ada banyak sloka dari bab IX itu yang mesti dipahami dulu dan baru bisa menyimpulkan tentang pemahaman pada sloka 25, nah saya coba kasi contoh,
Nah sebelum masuk pada sloka 25 maka yang paling utama untuk dipahami adalah,
Bapak sebetulnya harus mengerti dulu akan sloka ini yang menyatakan bahwa Tuhan sebaga satu-satunya penikmat yadnya, dan kemudian dilanjutkan jika seorang pemuja tidak mengakui/mengetahui/ memiliki pengetahuan akan Tuhan yang sebenarnya maka hanya melihat ‘kulit pembungkus’ saja, sama hanya melihat karung tapi tidak melihat isinya.
Ini yang kemudian dilanjutkan oleh sloka 25 yang masih memiliki relevansi dengan kalimat terakhir dari sloka 24 yaitu “….orang yang tidak mengakui sifat rohani-Ku yang sejati jatuh”, nah jatuh disini kemudian akibat dari memuja para Dewa (kulitnya)….., sehingga akan mengalami ‘lahir kembali’ seperti yang disebutkan oleh sloka IX.21.
Jadi dalam memahami ini jangan diambil sepotong-sepotong….. 🙂
Salam,
kembali ke topik (biar ga OOT, ehehe), Ajeg Bali, kalimat itu harus dikupas jelas, tidak hanya sekedar dikumandangkan saja. sebenarnya apa itu ajeg bali ?? bali sisi yg mana harus di `ajeg` kan ??
seperti pepatah mengatakan, tidak ada yg sesuatu yg kekal, hanya perubahan yang kekal. agar tetap bali apakah kita harus menutup diri secara total terhadap pengaruh luar agar bali tetap ajeg ?? tentu tidak.
hendaknya kita sebagai orang bali harus menerima sesuatu yang baru dan selektif sesuai dengan dasar sastra agama hindu.
dan menurut saya, kalimatnya tidaklah `Ajeg Bali` melainkan ganti dengan `Ajeg Dharma` kayaknya lebih pas.
Salam
Kidz
Mari pare semeton bali yen nagih bali ajeg de meblanje ajak nak luar bali apang muter jinah ring bali apang sing kluar dadi anggon mayah tenaga kerja bali tolong sebarkan suud meli bakso , goreng-gorengan sate kambing,mie ayam irage dogen kereng meblanja trus nak luar sing taen meblanja ajak nak bali soalne haram .kecuali nyama bali ne medagang dadi meblanja angon bisnis yang penting maan untung rage.mulai jani oren rare2 ne suksma
@ Ajeg Bali
Salam kenal, mangkin ring bali sampun sami dagang di pekene anak uli dauh tukad, tyang mase heran jeg demen pesan nyame baline mebelanje ajak anak ento,soalne nyame bali gengsi, sing enyak nyemak gegaen medagang dedaran, akhirnya peluang itu jemake ajak iye,padahal proses ne tonden karuan sukle apalagi sebagai prasadam.suksma
pernah nonton “apocalypto” nggak? ada kalimat yang benar2 menyentuh perasaan. kira-kira bunyinya, “kehancuran suatu bangsa tidak pernah disebabkan oleh serangan bangsa lain sebelum ia hancur membusuk sendiri dari dalam.”
Memang agak kasar dan brutal jika kalimat tersebut kita pakai untuk mendeskripsikan Bali saat ini. Saya memang tidak tinggal di Bali. Malah belum pernah ke Bali. Tapi, mungkin demikianlah adanya.
Kakak ipar dan adik saya baru saja pulang dari Bali. Mereka bercerita disana makan daging terus. Bukankah daging bukanlah paling pas untuk kita selaku penganut Veda?
Sekadar saran, mungkin telah saudara ngarayana lakukan, coba print tulisan anda, lalu sebarkan kepada umat di pura.
Kita bisa mencegah kehancuran ini mulai dari urusan perut. Jika perut kita sudah bersih, darah bersih, otak pasti juga akan berpikir lebih bersih.
kehancuran hindu saya rasa sudah berlangsung berabad abad, bukankah nusantara ini seharusnya mayoritas hindu, tetapi kok menjadi negara mayoritas islam., masih untung ada bali yang masih mewarisi hindu meskipun tinggal minoritas..
mengapa suatu agama mudah menghilang, maka saya tak setuju kalau dikatakan gara gara agama lain, seharusnya sifat korektif agama sendiri lah yang di kedepankan.. mengambil istilah kristenisasi, islamisasi, sebenarnya boleh boleh saja didengungkan, tetapi kembali ke prinsipan hidup umat beragamanya itu bagaimana… sejarah membuktikan bahwa dulu kala hindu menjadi hilang hanya gara gara perkawinan raja dengan agama lain, dan rajanya gak punya prinsip sehingga putranya mengalihkan kepercayaan karena amat demokratis tapi tidak kritis..
kawan,
jangan terjebak dengan istilah monotheisme dan polytheisme. itu adalah terminologi barat. Jika monotheisme seperti agama2 rumpun Abraham, yang iri, pencemburu, pendemdam, egois, jelas saya tidak sepakat jika konsep ketuhanan Hindu seperti itu. Bahasan utama majalah Media Hindu bulan maret ini sangat menarik: bahaya monotheisme! kesimpulannya monotheisme adalah induk dari kekerasan dan fanatisme. saya lebih sepakat menggunakan istilah nirguna brahman, saguna brahman, dan paramaatman
Semoga masyarakat bali cepat sadar jika sekarang kita sedang dijajah, pulau Dewata hanya akan tinggal kenangan sebab sekarang ini tanah dan budaya Bali sudah banyak dikuasai oleh orang-orang yang notabene bukan Jatma Bali. Mana Ajeg Balinya…..??? sekarang malahan pembangunan dan saranya persembahyangan untuk umat Hindu kusunya agak mundur malahan tempat persembahyangan untuk umat yang lain kok semakin banyak dan juga arsitekturnya pun memakai corak Bali,Kok gampang ya umat lain membangun sarana persembahyangan di Bali…??? tapi kalau umat Hindu jangankan membangun baru rencana saja sudah susah, sekarang Bali bukan Pulau seribu Pura lagi melainkan Bali seribu Ruko.
Jangan salahkan pengaruh luar yang bisa merusak Bali, karena expansi wilayah, sosial maupun budaya pasti terjadi di belahan bumi manapun. yang kami sayangkan di beberapa daerah di bali sendiri sudah membuat system yang bisa menjadi bumerang bagi orang Bali sendiri. Sebagai contoh, saya punya keluarga dari Singaraja yang baru membangun rumah di satu desa di denpasar dan ketika mereka pindah kependudukan secara administratif mereka di haruskan ikut masuk desa adat di desa tersebut. Otomatis keluarga saya menolak karena bisa di bayangkan kalau negen adat di dua desa. disini ironisnya, kalau warga non Hindu pindah administratif ke desa tersebut gampang sekali dengan tanpa embel embel adat sekalipun, dan tak bisa di elakan desa itu banyak di padati penduduk non Hindu/Bali. Jikalau 25% saja desa desa di Bali menerapkan system tersebut, saya yakin Bali hanya tinggal Kenangan dan anak cucukita hanya bisa kita wariskan sebuah lagu “Bali dwipa kasub ring duranegara, kasenian kebudayane kasungsung, jagat ramya pulo dewata kapuji . . . ” mohon di koreksi lagunya . . .
@de5U4R di tunggu commentnya, wellcome to be Dharma Defender,
peacefull my borther
Dear All,
Saya ingin mengakhiri diskusi mengenai Hindu di Bali adalah pengamal veda yang original yaitu Politiesme dan menurut Veda hal ini dibenarkan karena bila kita meneyembah leluhur yang moksa maka kita ikut leluhur moksa.
Dan samapai saat ini saya gagal memahami bahwa hindu dulu kala adalah Monoteisme baik dilihat dari sejarah, peninggalan , bahkan sekarang masih dipraktekkan di Bali.
Dan hindu baru datang ingin mengubah dan mengatakan Hindu Monoteisme dengan menafsirkan veda dengan cara baru dan mempraktekan hal baru.
Terima kasih atas penjelasanya dan mohon maaf bila yang saya kemukakan tidak berkenan.
Namun kemudian saya terkejut dengan pendapat –pendapat terakhir diantaranya
@kidz
Pendapat @dear Kidz ini sangat rasional dan selaras dengan Veda.
@ ajeg bali
Saya membaca nada bicara @ajeg bali ini sangat diskriminatif, anti pluralisme dan fasis dan Tentu sangat bertentangan dengan Veda, saya tidak tahu apa yang diniatkan kenapa @ajeg bali tiba-tiba menggunakan bahasa bali. Walaupun saya tidak mengerti bahasa bali namun saya tidak nyaman membaca nadanya dan saya merasa nada bicara ini sangat berbahaya buat pencari pencerahan dalam veda.
@dede narayana
Saya sangat terkejut dengan komentar Dear@dede narayana yang setuju dengan nada @ajeg bali
Kita seharusnya ramah pada tamu dan apalagi tamu itu punya hak yang sama dengan kita untuk hidup dan berusaha diseluruh Negara Indonesia, seperti juga warga bali yang ada dirantau, kalo memang veda sangat hebat dan sangat luas maka perkataan @ajeg bali menjadi Ironi yang memprihatinkan.
prustasi adalah musuh veda apalagi prustasi hanya pada pedagang bakso sungguh sangat mengecewakan.
Kita sudah salah memaknai Zaman, baleh jadi kita merasa terancam dengan makin banyaknya orang lain disebalah kita namun lihatlah orang lainpun melihat banyaknya kita disebalah meraka, inilah rialita gelobalisasi.
Ramah menerima tamu. Adil dalam menegakan Dharma, kesatria (sportif tidak curang) dalam bersaing tentu inilah yang original dari Veda.
Bukan sebaliknya yang merugikan kita harus disalahkan, diberangus, disetop padahal kerugian ini karena kesalah kita sendiri. ini seperti dua anak kecil yang sedang menghisap permen manakala permen salah seorang dari anak itu jatuh maka anak itu menyalahkan dan merebut permen temannya. Sungguh jauh panggang dari api
Damai selalu lebih baik
efendi
selamat berjuang kawan Bali-ku
wow
@efendi
senang bs berdiskusi dengan anda, tetapi ada satu hal yg ingin saya luruskan, mengenai pernyataan anda :
“Hindu di Bali adalah pengamal veda yang original yaitu Politiesme dan menurut Veda hal ini dibenarkan karena bila kita meneyembah leluhur yang moksa maka kita ikut leluhur moksa.”
mungkin saya agak sedikit kurang paham dengan pernyataan diatas. berkaitan tentang moksa, itu tidak ada kaitannya dengan pemujaan dengan cara politiesme.
konsep ajaran hindu yg saya ketahui (kalau kurang, mohon bimbingannya, maklum masih newbie ehehe)adalah `kembali` ke asal. ibarat air sungai yg sangat merindukan luasnya samudra.
bagaimana kita mampu menyadari bahwa kita adalah Tuhan sebagai percikan kecil Beliau (Moksa).
Kita tidak mampu membatasi sesuatu yg tidak terbatas. itulah sebabnya manusia menciptakan pencitraan Tuhan, sebagai `tools` untuk menyadari Tuhan. `tools` = mantra2, tempat suci, symbol2, patung, dewa-dewa,teknik2 pemujaan politeisme itu sendiri, dll. yg diharapkan dapat membantu pikiran umat lebih fokus.
dengan berbagai proses pembelajaran (kelahiran yg berulang2) dan setelah kita mampu menyadari `sang diri` bahwa kita adalah Tuhan, `tools` tidak diperlukan lg, itulah yg disebut kesadaran tingkat tinggi. dan moksa tidak berarti hilang, masih bernafas pun orang bs moksa, tp ketika orang berbicara tentang moksa, kebenaran abadi, berbicara dgn Tuhan, bertemu Tuhan, sesungguhnya itu salah.
skali lg kita tidak mampu membatasi sesuatu yg tidak terbatas. ada saat dimana logika, intelektual tidak mampu mengatasinya.
pada tingkat tertentu pemujaan terhadap leluhur, dewa-dewa, (politeisme) tidak diperlukan lg.
maaf kalau ada yg kurang berkenan, saya senang berdiskusi untuk mempelajari diri sendiri, seandanyai ada yg perlu diluruskan mohon bimbingannya.
salam
Kidz
oh ya sedikit saya tambahkan @efendi yg sering memberikan pernyataan hindu lama dan hindu baru.
hindu tetap seperti itu, hanya saja agama di `cover` oleh budaya. itulah yg membuat hindu `nampak` berubah2 (lama dan baru), budaya jelas akan mengalami perubahan. agama bukan budaya, agama kepercayaan pegangan hidup, budaya cara meraih/menjalankan kepercayaan itu.
jika kita berbicara pada lapis kebudayaan, tidak akan ada habisnya perbedaan yg muncul, tetapi jika level kita berbicara pada filsafat dan konsep, hal tersebut tidak ada bedanya, meskipun kadang filsafat jg banyak disalah artikan oleh orang2 yg tidak menyempitkan makna filsafat itu sendiri.
Para rsi pun amat sangat susah menggambarkan tentang bagaimana tuhan, karna tidak ada sloka,mantra,dan bahasa yg tepat di seluruh jagat raya ini untuk menggambarkan Tuhan.
kita semua dalam proses pembelajaran, bertukar pikiran, saling diskusi, mempertahankan pendapat dan kadang saling menyalahkan dan menjelekan merupakan awal proses pembelajaran, ketika waktunya tiba, kita akan pahami bahwa semua ini tidak ada artinya.
salam
Kidz
Om swastiastu
pulau Bali hancur, asumsi yang sempit sebenarnya, kontraversi antara adat dan agama sehingga memunculkan “ajeg Bali”. hahhahahahah, ingat kita jatuh bukan karna orang lain tapi karena sistem adat yang konservatif dan cenderung distilahkan ” Blakas metali”. orang Bali yang kurang melek pendidikan cenderung patuh terhadap adat dari pada intisari ajaran Weda sendiri. hal ini berbeda dengan suku bali yang telah merantau di sleuruh nusantara, adat yang ketat dan mengikat cenderung untuk diserap dan disesuaikan dengan lingkungan sekitar. hanya beberapa point saja yang dipake. para pendatang mereka bukan apa2. hari ini rata2 sudara2 kita di kampung pada silau dengan yang namanya materi, ingat ada celetuk dari kawan di kampung, (nak bali ngadep tanah meli bakso, nak jawa ngadep bakso meli tanah) dalam kurun waktu satu abad aja sikap kita terus kayak gini tamatlah riwayat orang Bali mungkin tinggal tulisan aja. kita bukanya ber puja trisndya 3 waktu, malah mengutamakan Banten yang mengahabiskan dana tak sedikit, memang sich dalam agama kita ada ( tatwa , susila, upacara) tapi kok rasa2 nya yang ketiga ini lebih diutamakan yaaa.saya dl tinggal di lingkungan pesantren tapi tak terpengaruh, s saya malah meniru pola ketaatan mereka. dan masalah lainnya di satu aspek kota denpasar budaya asli makin menipis, disebabkan kota denpasar berkembang sangat pesat, kota ini pusat ekonomi dan administrasi terutama untuk daerah timur indonesia. sama dengan jakarta orang asli pasti akan tersisih dan cenderung kalah saing dan pendatang berjubel dari segala penjuru. maka dengan keadaan ini kita seharusnya melek, bukannya curiga dan tak toleran pada pendatang. tolong jangan ditinjau dari segi agama saja tapi dari segi ekonomi dan pemerataan penduduk. selama ini orang Bali sangat dihormati di perantauan ( jawa, Sulawesi , sumatra, NTT dll). so solusinya AJeG bALI disesuaikan dengan perkembangan jaman tanpa melupakan intisari Weda dan aspek seni budaya kita. gak usah kawatir, saudara kita masih ada dimana2. wilayah Bali sempit gak mungkin bisa menahan ledakan penduduk satu abad ke depan, apalagi pola arsitektur Bali yang tidak mengizinkan pembangunan vertikal lebih dari 3 lantai, gimana itu (coba lihat singapore)seharusnya disesuaikan, trus kontraversi jalan layang, jika ditinjau dari persepsi adat itu gak sesuai, trus gmn ke depan??? bisa2 Denpasar macetnya lebih parah dari jakarta 20 th ke depan.
dan juga kelupaan. biasanya semeton Bali yang belum tahu rasanya merantau. capek deh tolong beri mereka wawasan!!!! ak prihatin dengan sikap mereka yang mengagungagungkan gengsi!!! apa fungsinya coba, mereka dah silau ma material gak yang miskin ato kaya sama aj, keblinger semua. nah sekarang dimana watak asli semeton balinya. ato mau pulau kita dijual ke negara asing gara2 tergiur dollar. beh yen kene terus inguh bayune be!!!!! tolong sadar
Hindu Unite !!!
selamatkan BALI dari kehancuran
caranya?
seperti kata bli ngarayana, qta kembali ke ajaran veda
Masih pantaskah pangilan adik untukmu, hidup bli-Ngarayana!
kalau ingin berbicara masalah moksa dg benar, matilah dalam hidup dan hiduplah dalam kematian. jangan mengatakan moksa, bersatu dg sang Pencipta, apa benar demikian?
coba dulu pahami, wujud weda, bhagavadgita yang sejati itu seperti apa? baru belajar mengupas ayat-ayat dan sloka-slokanya.
saya garis bawahi, apapun yg terjadi di muka bumi ini, adalah sudah kehendaknya. dan seandainya Tuhan menghendaki, bahwa Bali akan hancur apa susahnya. pertanyaannya? pernahkah kita bertanya kepada Tuhan, apa mau NYA terhadap Bali? selanjutnya, cari tahu, siapa bethare/gaib, yg diberikan kuasa untuk mengatur Bali?
@dwipayana
coba dulu pahami, wujud weda, bhagavadgita yang sejati itu seperti apa? baru belajar mengupas ayat-ayat dan sloka-slokanya.
Mohon petunjuknya cara memahami weda ? apakah lebih baik memahaminya dengan dengan mengupas sloka.
kayaknya anda sangat mengerti sekali cara memahami weda tanpa mengupas isi weda/sloka. besar harapan saya anda memberikan pencerahannya. terima kasih ya pak
shanti
umat d jawa jgn trll balisentris.. jgn mpe budaya itu sendiri, banten yg bgitu bnyk n rumitny, dan keegoisan kita yg mnenggelamkan ajaran veda…
jgn mpe bikin stereotip Hindu itu Bali…
bnyk yg mnyangkalnya, tp fakta yg tiap tahun saya brtemu bbrapa agama lain mnanyakan : Eh, orang Hindu kok namanya Wayan, Nyoman, dll sih?…..kok km k pura g pake baju putih yg ada udengnya itu?? kok malah baju bebas n baju jawa???…….. bhkn d dlm umat sndri mngatakan: loh pura kok kasi atap, pura di gianyar g ad yg gitu..(ap masalahny pake atap?? knapa brpatokan dg yg d Bali bukan veda?)… saat pameran kitab suci agama hindu, saya mnyalakan lagu2 bhajan n nama2 suci Tuhan eh, dmarahin oleh parisada.. ganti aja dengan lagu gamelan bali!!(loh?? trnyata lbh tinggi drajatnya lgu gamelan bali drpd lagu yg mnyanyikan nama suci Tuhan).. di bali Kafe2, PSK, dbiarkan mnjamur.. Misionaris tdk brani yg diajak diskusi agama oleh umat Hindu.. tp ajaran kesadaran Krishna yg dmana mngupas Veda lbh dr Hindu yg kita kenal skrg dipandang sinis oleh umat Hindu Bali… (mslhnya takut budaya hilang.. pdhl, budaya itu sesuai jaman bs berubah, lagian apanya sih budaya yg drubah dr kesadaran Krishna ataupun kmbali k veda??) apakah budaya lbh tnggi dr Veda?? Knapa kita umat Hindu tdk suka dg pandangan sempit agama lain tp trnyata stlh dikupas msh bnyk jg pandangan sempit dlm umat kita… maw jd seperti itukah Hindu??? Hmmmmmhhhhhh…..
Salam Bahagia dan semangat untuk semua.
OSA, HK.
@ Bli dwipayana.
….saya garis bawahi, apapun yg terjadi di muka bumi ini, adalah sudah kehendaknya. seandainya Tuhan menghendaki, bahwa Bali akan hancur apa susahnya. pertanyaannya? pernahkah kita bertanya kepada Tuhan, apa mau NYA terhadap Bali? selanjutnya, cari tahu, siapa bethare/gaib, yg diberikan kuasa untuk mengatur Bali?…..
yah bli kok gini. Jika memang Beliau berkehendak bali hancur melalui tenaganya, mari hadapi dengan senyum dan gagah, dalam artian saya sbg orang bali tidak akan menyerah untuk menjalankan prinsip sanatana dharma dan berusaha menularkan prinsip2 itu mulai dari keluarga hingga masyarakat walo pun nantinya bali juga hancur. itu adalah usaha dan pelayanan saya tanpa harus tahu (walaupun tahu juga g apa2)bahwa hasilnya adalah bali hancur/nothing. saya tidak melihat itu, yg saya lihat adalah ada yg saya lakukan untuk pelayanan dan perjuangan.
pada posisi sekarang, bli ngarayana sedang berjuang untuk mencerahkan kita. kita (saya juga)yg tahu dan mulai sadar setidaknya berjuang dgn cara menumbuhkan semangat ajeg bali yg benar dan ajeg dharma (istilah baru saya yg aneh) dan tentunya do it correctly (sok dikit).
so, jangan menyerah. mari bersama kita bangun. saya juga rada-rada bullshit karena saat ini msh dijakarta, dan belum bisa berbuat banyak untuk bali.
semoga tuhan selalu memberkati kita.
maaf jika berlebihan dan menyinggung.
saya setuju dengan pendapat bahwa orang bali hanya dijadikan obyek budaya, sapi perahan dan penikmatnya adalah investor asing. orang bali sering disibukkan dengan adat dan ayah-ayahan, akibatnya para investor mulai malas mempekerjakan orang bali, akibatnya orang bali semakin susah nyari kerja. lama-lama semua kerjaan diambil orang luar bali. orang bali tinggal bengong, ya kalau ada tanah ya jual tanah. secara pelan-pelan orag bali akan tergusur dari tanahnya sendiri. adat itu bisa diubah, namanya adat ya berarti mesti berubah sesuai dengan pola hidup manusia. sementara agama? bagi saudara-saudara kita yang berpikir praktis bakal menyalahkan agama. kalimat2 seperti: dadi berat sajaan beragama hindu, ngayahin banjar dogen gae ne. secara tidak langsung agama akan disalahkan.
saya jadi ingat ttg sejarah agama hindu di india, pada masa-masa awal dimana berkembang kitab brahmana, ritual dan upacara sangat intens dilakukan. secara politik semakin banyak ritual dan upacara maka posisi brahmana akan menjadi penting. namun akhirnya rakyat muak dan menderita krn tiap upacara dan ritual selain membutuhkan tenaga juga biaya yang membebani. akhirnya datanglah ajaran budha, akibatnya banyak yang beralih ke agama budha yang tidak ruwet dan tidak banyak ritual. hal ini memaksa para yogi hindu untuk melakukan tafsir ulang terhadap weda, maka lahirlah upanisad, yang kemudian diikuti dengan lahirnya sekte2. hingga kemudian kedatangan Islam dan inggris. selama masa-masa itu selalu dilakukan penafsiran ulang weda. hingga akhirnya lahir gerakan universalisme, yaitu agama universal yang mengakomodir semua agama.
dari paparan itu, menunjukkan bahwa agama hindu itu tidak kaku, tidak statis. dia selalu mengalami perkembangan namun weda tetap menjadi roh utamanya.
untuk kasus bali memang ada dilema antara budaya, adat dan tentu saja ekonomi. kalau orang bali keras dengan adat nya maka resiko yang harus diambil adalah orang bali pindah agama, perekonomian bali dikuasai orang non bali, orang bali cuman jadi penggembira. adat mesti berubah, merubah adat bukan berarti merubah agama bukan?? kenapa takut berubah?
resiko kalo adat berubah maka budaya pasti berubah. budaya berubah resikonya apakah bali kehilangan ke khasan nya? ataukah tumbuh menjadi bali yang baru dengan ke khas an yang baru?
yang diubah adalah adat bukan agama, sebab mau apapun adatnya, selama agama hindu menjadi roh nya, saya yakin bali akan tetap dengan ke khas-annya. perlu diingat bahwa adat hindu di bali kebanyakan berdasarkan lontar yang merupakan hasil penafsiran weda dan disesuaikan dengan keadaan masa itu dan saya yakin itu bukan harga mati.