Pada beberapa kesempatan diskusi dengan beberapa sahabat “Bali Ortodok”, sangat sering saya temukan pernyataan dan pertanyaan yang sangat menggelitik yang harus segera disikapi oleh mereka yang mengatakan dirinya sebagai bhakta Tuhan. Setelah secara cukup panjang lebar saya menjelaskan berbagai macam konsep-konsep tattva, susila dan upacara yang bersumber dari Veda dan akhirnya menemukan kesimpulan akhir pada Bhagavad Gita sloka 15.15, yang mengatakan; “vedai ca sarvair aham eva vedyo vedanta-krd veda-vid eva caham, Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; memang Akulah yang menyusun Vedanta, dan Akulah yang mengetahui Veda”. Sehingga dari sloka ini, semua orang Hindu yang mengakui Bhagavad Gita sebagai kitab sucinya pada akhirnya harus mengakui bahwa Sri Krishna yang menyabdakan Bhagavad Gita adalah Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sendiri. Lalu apa yang dikatakan oleh mereka yang masih menolak atau ragu-ragu dengan sloka ini? Mereka akhirnya bertanya; “Apakah anda penyembah Sri Krishna? Apakah dengan menjadi penyembah Krishna harus melepaskan atribut budaya setempat seperti yang banyak dilakukan penyembah Krishna di Bali? Apakah ujung-ujungnya mereka harus menghancurkan pura keluarga? Apakah penyembah Krishna tidak boleh ke Pura?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang intinya adalah “ketakutan” akan hilangnya wajah Bali yang mereka lihat saat ini.
Sebagian yang mereka kawatirkan ada nilai benarnya juga. Kejadian di lapangan sudah memperlihatkan sebagian oknum sampradaya, baik dari kalangan Vaisnava, Sivaisme atau yang lainnya memperlihatkan sikap eksklusif, mulai tampil ekslusif, tidak pernah bergaul ke pura dan bahkan beberapa diantaranya menghancurkan pura-nya sendiri. Semua ini menghantui mereka yang teguh dalam semangat Hindu berbudaya lokal namun bosan dengan rutinitas upacara yang memberatkan dan ingin mencari wajah Hindu yang berbeda yang berdasarkan pada sastra Veda.
Benarkah tindakan mereka yang mengaku sebagai bhakta Sri Krishna, namun memposisikan dirinya sebagai superior dan eksklusif?
Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh seorang bhakta Sri Krishna sebagaimana disampaikan dalam Sri Shikshashtaka adalah rasa tunduk hati, memposisikan diri bahkan lebih rendah dari pada rumput di jalanan, lebih toleransi dari pada sebatang pohon, bebas dari segala rasa bangga yang palsu dan bersedia memberi segala hormat kepada orang lain. Namun jika anda melihat seseorang yang mengaku sebagai bhakta Sri Krishna, tetapi memiliki egoisme tinggi, superior dan tidak memperlihatkan tunduk hati, maka sejatinya dia bukanlah seorang bhakta yang bona fide. Sri Krishna sendiri menegaskan kepada Arjuna dalam dalam Adi Purana (sebagaimana dikutip dalam Laghu Bhagavatamrta 2.4 dan CC Madhya-Lila 11.31), “Ye me bhakta janah partha na me bhaktas ca te janah, wahai Partha, orang yang berkata dirinya adalah bhakta-Ku, sesungguhnya bukan bhakta-Ku. Mad bhaktanam ca ye bhakta te me bhaktata mamatah, tetapi orang yang berkata bahwa dirinya adalah bhakta dari bhakta-Ku, dia lah bhakta-Ku yang sebenarnya”. Jadi orang yang dengan angkuh dan sombongnya mengatakan dirinya sebagai bhakta Sri Krishna tidak ubahnya seperti seorang anak yang baru belajar silat, mencak-mencak kesana-kemari nantang berkelahi, padahal ilmunya belumlah seberapa.
Lalu bagaimana dengan pergi ke Pura? Bagaimana dengan tindakan menghancurkan pura dan tidak mau bersosialisasi dan sembahyang ke Pura lagi?
Dalam Padma Purana dan Siva Purana (sebagaimana dikutip dalam Laghu Bhagavatamrta 2.4 dan CC Madhya-Lélä 11.31) disebutkan bahwa Parvati bertanya kepada suaminya dewa Siva, “Dari segala macam persembahyangan, persembahyangan kepada siapakah yang paling sempurna? Dan siapakah kepribadian tertinggi yang paling pantas dipuja?” Siva menjawab, “Aradhananam sarvesam visnor aradhanam param, dari segala macam persembahyangan, persembahyangan kepada Visnu adalah yang paling tinggi tingkatannya. Tasmat parataram devi tadiyanam samarcanam, tetapi O dewi, ada lagi persembahyangan yang lebih utama dari ini yaitu memuja para penyembah (bhakta) Visnu”. Lalu siapa bhakta Visnu? Dalam Padma-Purana sebagaimana dikutip dalam CC Adi-lila 3.91 ditegaskan bahwa para dewa pada dasarnya adalah bhakta Sri Visnu, “visnu bhakta smrta daiva”. Sedangkan dalam Sri Gurvastaka sloka 7 disebutkan “sakshad-dharitvena samasta-shastrair uktas tatha bhavyata eva sadbhih kintu prabhor yah priya eva tasya vande guroh shri-charanaravindam, Seorang guru kerohanian harus dihormati sama seperti Tuhan Sri Krishna sendiri. Karena ia adalah pelayan yang paling rahasia dari Tuhan. Hal ini diakui oleh semua kitab-kitab suci yang diwahyukan dan oleh para pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam kerohanian. Karena itu hamba menghaturkan sembah sujud dengan hormat kepada kaki padma para guru-guru kerohanian, yang merupakan perwakilan bona fide dari Tuhan Sri Krishna”. Jadi dari kedua sumber ini setidaknya ada dua entitas yang harus kita hormati dan layani sebagai syarat dari pemujaan kepada penyembah-Nya, yaitu para dewa dan guru-guru kerohanian yang bona fide. Lalu bagaimana kaitannya dengan pergi ke Pura? Pada kenyataannya ada beberapa Pura yang ditujukan untuk pemujaan kepada para dewa tertentu atau kepada leluhur tertentu. Dengan demikian, apakah haram hukumnya bagi seorang penyembah Sri Krishna untuk masuk dan sembahyang ke pura tersebut? Jika mengacu kepada sumber-sumber yang sudah saya kutipkan sebelumnya, maka mereka yang mengharamkan untuk masuk ke Pura adalah oknum orang bodoh yang mengaku sebagai penyembah/bhakta Sri Krishna. Mereka tidak sadar pada posisi mereka sebagai “dasa anu dasa, pelayan dari pelan”. Mereka tidak sadar bahwa para dewa dan/atau guru-guru suci / leluhur yang distanakan di sana juga adalah pelayan Sri Krishna yang patut kita hormati. Kita sama sekali tidak ada apa-apanya dibadingkan dengan mereka yang mampu mengemban tugas Sri Krishna dalam hal-hal material. Jangankan mengemban tugas yang serupa dengan para dewa, mengemban tugas yang diberikan oleh guru kerohanian kita saja kita sering kali alpa, lalu apa yang kita banggakan sehingga menolak masuk ke pura dan sujud kepada para dewa?
Dalam Bhagavata Purana 11.17.21 disebut kualifikasi-kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang penyembah Tuhan, yaitu antara lain; tidak melakukan tindak kekerasan (ahimsa), berpegang teguh pada kejujuran (satyam), tidak mencuri dan korupsi (asteyam), selalu berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk lain (bhuta priya hitehaca), dan membebaskan diri dari nafsu, kemarahan dan keserakahan (akama krodha lobhasa). Sehingga seorang bhakta yang datang bersosialisasi ke lingkungan pura dan masyarakat sudah memperlihatkan sikap bhuta priya hitehaca dan akama krodha lobhasa-nya. Melalui pergaulan sosial tersebut, mereka yang lebih terdidik dalam lingkungan filosofi seharusnya bisa menularkan pengetahuan mereka kepada masyarakat luas, mencoba secara bertahap memperkaya masyarakat yang mungkin masih berkutat pada tataran upacara (yajna) ke dalam suatu tingkat dimana masyarakat umum bisa merasakan manisnya rasa bhakti yang tumbuh dari keseimbangan antara tattva (filsafat), susila (disiplin tingkah laku) dan ritual (yajna).
Sementara anda yang merasa sebagai Bali Ortodok, yang tidak ingin kehilangan identitas Bali anda, tetapi ingin merasakan filsafat Veda yang berdasarkan parampara tidak perlu kawatir bahwa dengan anda menjadi pemuja Krishna budaya Bali akan hancur dan dilupakan. Tidak ada satu sastrapun yang melarang anda memuja Sri Krishna di Pura, Merajan / Sanggah. Tidak ada sastra yang akan menyalahkan anda jika anda bersembahyang dengan pakaian adat Bali dan tidak ada yang menyalahkan anda jika anda tetap melantunkan pupuh, geguritan dan berbagai macam seni budaya Bali setelah anda menjadi bhakta Sri Krishna. Yang terpenting dari semua itu adalah “spirit” yang menjiwai apa yang anda lakukan. Anda bersembahyang ke Pura dengan mengetahui bahwa Sri Krishna adalah Tuhan. Anda sujud hormat kepada para dewa dengan menyadari bahwa anda sedang melakukan pemujaan yang utama dengan melayani bhakta dari Sri Krishna. Dan yang tidak kalah pentingnya, semua etika bermasyarakat (susila) dan yajnya yang anda lakukan benar-benar didasari oleh Veda, bukan karena perkembangan jaman dan “gugon tuwon” (hanya mengikuti apa kata orang-orang sebelum anda).
Jadi tidak ada alasan bagi seorang penyembah Sri Krishna untuk menganggap pura sebagai tempat yang harus dijauhi, apa lagi di hancurkan. Dengan demikian tidak ada alasan bagi orang Hindu Bali Ortodok untuk takut pada Sampradaya Gaudya Vaisnava yang menekankan pemujaan kepada Sri Krishna. Mereka tidak perlu takut dengan hilangnya budaya Bali dan tergantikan oleh budaya yang keindia-indiaan. Bahkan seharusnya dengan adanya sampradaya Veda yang otentik, “jiwa” dari pulau Dewata yang kini telah mulai pudar termakan budaya Barat dan Timur Tengah pasti bisa dibangkitkan kembali. Kita tidak punya pilihan lain selain mengembalikan “spirit” Bali melalui ajaran Veda yang otentik, atau membiarkan Bali merana karena orang Bali yang sudah jenuh dengan upacara tanpa spirit filosofi Veda memilih untuk hengkang memeluk agama lain yang menurut mereka lebih simpel.
Mari bangkit saudara-saudara Bali-ku. Mari lihat Bali secara utuh dari luar Bali dan anda akan merasakan bahwa ternyata anda yang selama ini berada di Bali sudah sekian lama terlena dan tertidur melakukan tindakan bunuh diri terhadap budaya Bali yang anda cintai itu.
emang rutinitas upakara yang dilakukan di Bali itu membosankan yach??
dan juga apa tidak sesuai dengan sastra Veda???
jika rasa bosan yang mendasari, trus bagaimana jika nanti bosan juga menyebut nama Tuhan, apa mo berganti “profesi” sehingga mencari yang dianggap ‘sesuai’ dengan sastra Veda yang lain???
Suksma,
@ari_bcak
Begini bli… Kalau pengalaman saya bergaul dengan orang-orang Bali perantauan di Jakarta, apa lagi dengan kaum wanita yang muda. Sangat banyak yang berkata kurang lebih seperti ini; “Aku ga bisa bikin banten, dan aku ga mau pulang ke bali dengan rutinitas kesibukan seperti itu. Kalau hanya bikin canang sari dan sembahyang seperti yang biasa aku lakukan di sini sih ga apa-apa. Tapi kalau sampai kayak nenekku yang tiap hari sibuk karena banten dan sampai meninggalkan pekerjaan dan akhirnya tidak punya materi, akau tidak mau”. Bahkan ada yang berkata; “Aku males nyari pacar orang Bali, aku mau jadi orang sini aja”. Beberapa orang Bali yang pindah agama yang saya temui juga ternyata demikian. Mereka memilih tetap berdomisili di sini dan tidak mau ke Bali karena tidak mau kena “ayahan dobel” (urunan yang biasa diberikan ke desa adat setiap bulan walaupun mereka tidak tinggal di bali lagi).
Watak setiap orang berbeda-beda. Ada yang lebih condong ke arah praktis dan tidak mau mengikuti “pakem” yang ada di Bali saat ini. Ada yang dengan penuh kesadaran dan bhakti yang tulus mengikuti semua tradisi itu, tapi ada juga yang mengikuti dengan hati yang tidak iklas…
Apakah yang dilakukan saat ini tidak sesuai dengan sastra Veda? Tidak juga… Karena Veda sudah membagi manusia menjadi golongan sattvam, rajas dan tamas. Sekarang tinggal bercermin, dalam golongan apa kita dengan kondisi kita saat ini. Kalau kita dan teman2 yang lain ada pada kesadaran penuh dalam melakukan berbagai upacara itu, mungkin itu sudah cukup baik, tapi bagaimana halnya jika ngedumel atau malah ingin pindah keyakinan hanya karena “materi” dan dorongan “waktu”?
Karena itu sepertinya pakem yang ada selama ini perlu sedikit dilonggarkan.. tidak saklek dan tidak mengikat mengingat kebutuhan hidup dan faktor kesibukan yang semakin menghimpit kita..
Salam,-
Om Swastyastu sdr. Ngarayana,….. 🙂
Saya memaklumi hal yang seperti itu, tapi dari hal ini kita bisa melihat kualitas orang, apakah termasuk golongan sattvam, rajas dan tamas. Jika hanya ingin mencari yang simple saja termasuk golongan yang mana itu???…… 🙂
bahkan dalam ‘pengendalian’ diri (yoga) pun tidak ada yang mudah, jadi apa melakukan yoga macam panca yama/nyama brata trus ada tri kaya parisudha lebih mudah dari membuat banten???
jadi, sebetulnya yang manakah yang lebih mengutamakan ego (hawa nafsu)???
Apa ketika tidak bisa bikin banten maka akan diusir dari Bali???
apa ketika melakukan rutinitas seperti itu dikatakan sibuk, jadi waktu ‘sibuk’ ini ketika melakukan persembahan kepada Tuhan kurang tepat???
bukankah lebih baik waktu kita lebih banyak diberikan untuk kepada Tuhan???
jadi ketika tidak melakukan rutinitas membuat banten waktunya dibuat untuk apa???
Mungkin perlu ditanyakan kepada sang nenek, apa beliau keberatan jika ‘kekurangan’ dalam hal materi???
kemudian disebutkan juga di BG bahwa “seseorang yang tulus bhakti kepada Tuhan maka segala sesuatu akan diberikan oleh Tuhan” (kurang lebih seperti itu)….. jadi maksud sloka ini keliru???
ketika sang nenek sibuk melakukan persembahan kepada Tuhan jadi tidak ada timbal balik dari Tuhan???
Sepertinya mereka ini yang kurang mau “berbicara” dengan pihak banjar baik itu kelian, ataupun perangkat banjar yang lain.
Dengan berbicara maka akan ketemu titik temunya sehingga bisa dicari pemecahan yang baik, mungkin bisa nanti didiskusikan yang mana agama dan yang mana adat….. 🙂
Ini saya udah mengalaminya sendiri, dan kok tidak ada namanya “ayahan dobel”, yang ada cuman kita membeli ayahan sesuai dengan berapa dana/kemampuan kita, jadi semuanya hanya perlu dibicarakan.
nb: pertanyaan saya tsb bisa ditanyakan kembali kepada rekan-rekan sdr. Ngarayana yang telah memberikan jawaban diatas, atau bisa diajak diskusi disini….. 🙂
Suksma,
Om Swastiastu bli Ari…
Yup.. andaikan semua orang bisa berpikir seperti bli, maka saudara-saudara Bali kita tidak akan seperti sekarang ini. Hindu nusantara tidak akan merosot…
Saya punya pikiran begini. bayangkan jika seandainya biaya bermilyar-milyar kita gunakan setengahnya untuk pendidikan filsafat dan sekolah Hindu. Bukankah akan mendidik anak cucu kita menjadi lebih kuat sraddhanya? Tapi sayang, sampai saat ini, seklolah Hindu di Bali bisa kita hitung dengan jari, sementara yang lain sudah bertebaran ke plosok-losok..
Kedepannya, ada baiknya umat Hindu harus lebih bijak menganggarkan “dana punia”-nya. Bukan semata2 untuk upacara, tetapi juga pendidikan dan kegiatan membangun umat lainnya.
Maaf bli pendek.. sambung besok lagi ya… OB di kantor udah dateng… he..he..
Salam,-
Itu betul prabu ngarayana……
sedikit yang saya contohkan adalah : saat kakek meninggal (saya g sempat hadir – lihat foto2nya saja), beliau belum diaben, hanya dititip (mekingsan di geni/agni). bantennya masih fresh dan simpel. pas ngabennya (3 bln setelahnya) eh bantennya udah jelek krn ada yg dipersiapkan sebulan sebelumnya. bahkan acara rsi ghana yg dl pernah kami lakukan, bantennya ada yg sudah busuk.
sungguh sayang, namun apa mau dikata…..saya pun bertekad tentunya upacara yg saya bikin akan lebih sederhana namun tetap bergembira dalam melaksanakannya dan jika bisa mengganti biaya yg semisal dipake banten yg nantinya busuk beralih ke pemberian beasiswa atau menghadiahkan sapi2 perah kepada brahmana.
contoh : jika menikah/potong gigi/upacara anak kecil, bantennya yg sederhana, masih fresh, banyak2 denger filsafat dan doa pujian plus materi yg bermanfaat seperti sapi ke brahmana, beasiswa,dll. jika dengan banten plus guling dll = 5jt ato berapalah, maka saya pengen banten sederhana yg fresh, doa pujian + beasiswa ato kambing perah ke brahmana = 5 jt ato setidaknya setara (kecuali harga kambing ato sapi naik.he.he.he.)
itu sich idealisme saya yg ngalur ngidul…he.he.
Salam.
maaf saya ikutan ya… saya stuju dengan apa yang disampaikan oleh sdr ngarayana ?
maaf kalo boleh tanya. ada gak yang mencapai moksa dengan membuat banten segede gedenya ?
kalo kita melihat perjalanan para shadu ato paling akhirlah perjalanan Dhanghyang Nirata / pedanda Sakti beliau mencapai moksa ( maaf kalo salah ) dengan melakukan meditasi / yoga semadi. kalaupun harus melakukan yadnya yang dilakukan sederhana tapi iklas.
Tentu ada , sudara Srid , jika ada yang moksa dengan membuat banten kecil dan TULUS-IKHLAS , tentu yang menbuat Banten ukuran Jumbo dan TULUS-IKHLAS mampu mencapai moksa juga , hanya saja , kata kuncinya bukan di banten , tetapi di ….. ? ^^
Om Swastyastu sdr. Ngarayana;
Jika alasan bahwa mengurangi penggunaan banten untuk bisa berbagi dengan sodara yang lain seperti bantuan beasiswa, kesehatan, dll, ini saya maklumi dan respect tinggi, sedangkan jika memiliki alasan bahwa tidak bisa membuat banten, capek, dll, ini saya lihat terlebih karena sebuah excuse saja,….. 🙂
yang sama halnya dengan alasan macet ketika telat masuk kerja ato sekolah….. jika tau macet kan sudah seharusnya berangkat lebih pagi….. 🙂
jika capek, lebih baik kagak ngapa-ngapain kan lebih ‘baik’ juga kagak capek…… 😀
Suksma,
Dear All and untuk bli Ari_bcak juga..
Ada orang yang mengeluh dalam membuat banten, melakukan ritual agama, tidak suka sembahyang adalah karena kebodohan mereka. Kenapa mereka bodoh? Karena dasar filsafat yang ditanamkan kepadanya sangat rendah? kenapa dasar filsafatnya sangat rendah? Karena sistem pendidikan dan kebiasaan dalam keluarga yang tidak kondusif. Jadi tetap saja saya kira kita harus mulai berpikir untuk memperbaiki SDM umat Hindu dengan mencoba memperkecil anggaran untuk yajna yang besar dan rumit dan mengalihkannya untuk sistem pendidikan.
Masalah setelah mendapatkan dasar fislafat kuat, seorang umat Hindu akan membuat upacara super mewah atau yang seirit mungkin tidaklah masalah karena dengan dasar filsafat yang kuat mereka tidak akan mengeluh kembali.
Jadi jika ada saudara-saudara kita meninggalkan Hindu karena berat akan masalah upacara dan ketidaktahuannya akan filsafat, siapa yang akan kita salahkan? Cukupkah kita mengatakan bahwa mereka tidak memiliki bhakti yang kuat tanpa mau bercermin memperbaiki sistem pendidikan kita?
@ dwipa
Thanks ya linknya bli.. sudah saya baca, namun belum saya comment karena saya belum masuk jaringannya.
Masalah Sivaism dan Vaisnava memang secara empiris/akademis susah ditemukan kapan dan bagaimana ajaran Veda bisa menjadi 2 bagian besar ini.
Dalam Brahma Samhita 5.45 dikatakan “Ksiram yatha dadhi vikra visesa-yogat sanjayate na hi tatah prthag asti hetoh yah sambhutam api tatha samupaiti karyad govindam adi purusam tam aham bhajami, seperti halnya susu berobah menjadi susu asam karena terkena (bercampur dengan) unsur asam; namun susu asam tidak berbeda dan juga berbeda pada saat yang sama dari sumbernya yaitu susu. Demikianlah saya sembah Govinda , Tuhan nan asli asal keberadaan Sambhu (Siva) yang berfungsi sebagai pelebur alam material”.
Jadi sebenarnya Krishna/Visnu dan Siva adalah sama dan sekaligus juga berbeda yang disini diasumsikan oleh dewa Brahma sebagai susu dengan susu asam. Terus terang sampai saat ini saya masih belum memahami betul akan kedua pribadi agung ini. Siva sendiri menjelaskan kepada Istrinya sebagaimana saya kutip dalam artikel ini; “Dari segala macam persembahyangan, persembahyangan kepada siapakah yang paling sempurna? Dan siapakah kepribadian tertinggi yang paling pantas dipuja?” Siva menjawab, “Aradhananam sarvesam visnor aradhanam param, dari segala macam persembahyangan, persembahyangan kepada Visnu adalah yang paling tinggi tingkatannya. Tasmat parataram devi tadiyanam samarcanam, tetapi O dewi, ada lagi persembahyangan yang lebih utama dari ini yaitu memuja para penyembah (bhakta) Visnu”. Sehingga saya selalu sujud hormat kepada Siva dimana posisi beliau adalah Maha Jhana dan Bhakta Tuhan yang paling agung (Bhagavata Purana 12.13.6 )
Salam,-
wiswa mitra says:
July 9, 2010 at 10:00 pm
“Tentu ada , sudara Srid , jika ada yang moksa dengan membuat banten kecil dan TULUS-IKHLAS , tentu yang menbuat Banten ukuran Jumbo dan TULUS-IKHLAS mampu mencapai moksa juga , hanya saja , kata kuncinya bukan di banten , tetapi di ….. ? ^^”
pada dasarnya ukuran banten adalah bukan masalah tapi yg harus diingat adalah rasa bakti tadi.
pada jaman sekarang beda pada jaman dahulu , pada jaman dahulu hati lebih berperan dalam menghaturkan bakti itu dipicu banyak hal :
dahulu kita masih hidup diantara sesama penganut dharma baik hindu maupun budha semua bisa hidup berdampingan dengan serasi.
trs tingkat pola pikir masa itu masih sederhana jadi kalau namnya bakti ya cuma bakti yg di pikir ga da lain .
pada jaman dahulu masih banyak para rsi, para wikan yg trs menrus membimbing seluruh umat dari segala lapisan dari jelata bahkan sampai raja sehingga pemahaman ajaran dharma sangat sulit untuk menuju kearah yg salah.
pada jaman dulu belajar dharma lebih ditekankan pada hakekat /jati diri jadi per individu ditekan kan untuk lebih mengetahui diri pribadi .jadi bukan belajar penampilan /tampak luar dan ini berlangsung hingga turun temurun tanpa merubah pola kehidupan yg ada pada masa itu.sehingga antara budaya dan ajaran dharma barjalan dengan serasi.
tapi bagaimana saat ini ?????
sekarang ini kita hidup ditengah berbagai ajaran dari hindu hingga ke kepercayaan, yang masing 2 jalan selalu ingin menunjukkan nilai kebenaran nya masing bukan mengarah pada pembinaan hidup rukun dan damai. dengan dalaih ini dan itu semua saling mengusik sehingga rasa damai disetiap orang ga pernah setabil.
ditambah lagi dengan tingkat pola pikir individu sekarang ini yg makin aneh2 bukan sederhana kaya dahulu.
trs pada jaman sekarang para sesepuh yg mendengungkan ajaran dharma sudah tidak ada lagi bahkan saya bisa bilang 0 besar bukati dan kenyataanya dilapangan para pemuka2 agama kita gak ada yng becus ngasih penerangan tentang agama bahkan lebih cenderung ngumpet dibelakang panggung,
rsi jaman dahulu dengan rsi /padenda/pinandita jaman sekarang sangat jauh bedanya bahkan bisa dibilang ga ada persamaanya samasekali.
sekarang cuma gelarnya saja yang keren tapi nyatanya dialapangan mana ada rsi / pedenda ….. ada di propinsi …..sedang gencar memberi wacana dharma .
tapi liat jaman dahulu dengan nama dan sebutan yg sederhana kekuatan dari ajaran yg beliau sebarkan masih berdengung dtelinga kita to. coba bandingkan empu baradah, empu prapanca, empu penuluh, empu kuturan sederhana bukan nama 2 beliau tapi liat sumbang sih beliau untuk bumi nusantara ini
ketimbang yg sekarang ini disebut misalnya jeromangku…. , mahadwija……dan lain apa yg mereka pelajari selama ini ga pernah kita rasakan hasilnya bahkan ada umat sedharma yg mungkin sekarang ini berjuang mati matian demi dharma dan belum tersentuh oleh tangan 2 yg rendah hati mau mengunjunginya …
apakah mereka bisa merasakan penderitan umat kita itu seharusnya seorang panganut dharma yg sudah mumpuni hal ini bukan hal yg patut diungkap bagi mereka seharusnya sudah tau dahulu dimana ada energi yg mengaharapkan pencerahan dharma .
tapi nyatanya mereka malah duduk enak tanpa berbuat apa2
jadi jika terjadi penyimapangan ajaran dharma dalam masyarakat siapa dong yg salah ????
trs sekarang kita belajar ditekankan hanya bentuk luar fisik bukan mengarah pada hakekat kesejatian.
jadi sekarang kita lebih mementingakan penampilan dalam ujud nyata hal ini lebih penting kenapa ,ditengah gempuran ajaran lain yg trs memuja ujud nyata dan selalu ingin menuntut bukti nyata dari keberadaan dari masing ajaran “kitab suci,nabi/rsi,dan bentuk tempat ibadah”.
nah untuk hal tersebut maka hal 2 yg sifatnya nyata “sesaji /banten ” dewasa ini sangatlah praktis untuk ditunjukakan secara nyata sebagai sarana dari ciri khas ajaran dharma kita .walaupun disamping itu semua adad suatu hal dibelakang dari ujud nyata banten tadi .
tapi seiring dengan berjalanya waktu pembuatan banten menjadi sangat pesat perkembanganya baik dari bentuk dan ukurannya .bahkan makin mengarah kearah yang mewah ?
apakah kemewahan dari banten ada larangannya ??
tidak bukan ,nah hal tersebut kita kembalikan pada yg membuat banten karena mungkin banyak alasaan termasuk mungkin membuktikan bahwa umat dharma bukan umat pelit yg rela berkorban apa saja demi bhakti tadi.
tapi lain halnya jika kemewahan banten hanya untuk gagah gagahan ini sebaiknya dihindari , menyangkut hal ini personal masing2 lah lah yg tahu , tapi apapun bentuk dan motif pembuatan banten yg dilaksanakan oleh para penganut dharma patut kita hormati dan kita acungkan jempol ini masih lebih baik dari yg sudah tidak lagi .
menjunjung tinggi dharma bahkan meninggalkanya,
nah untuk maslah tersebuta kita hars sabar menanganinya yg penting kita dukung dulu langkah mereka nah ditengah perjalanan itulah kita beri mereka isi dikit demi sedikit .
sampai mereka paham benar akan hakekat / kesejatian dharma itu dimana letaknya ?
tapi kalo kita langsung pangakas ditengah bisa 2 jadi malah sasaran kita ini ga akan mengena malh akan jadi senjata pemunah masal dan banyak umat yg lari meninggalkan dharma ?
nah kalo udah begini lebih sul;it lagi untuk menarik kembali.
baiknya kita yg muda carilah solusi dan lebih menitik beratkan pada pemberian wacana kepada mereka bukan malah mengubah pola pikir mereka secara terang2an
banyak hal yg bisa kita perbuat pada mereka :
pemberian dharmawacana secara berkala
membuat taman bacaan
membimbing adik adik yang masih awam tetang dharma
ini akan lebih efektif sekali nah lebih lanjut bagi mereka yg punya kemampuan ekonomi tinggi bisa mendirikan semacam sekolahan dan asrama 2 dll.
nah dari hal itu kalau kita memang brani coba kita mulai dengan pemberian dharma wacana ini sangat manjur sekali ketimbang yg lain.
nah udahkah anda lakukan hal ini dalam hidup anda??
http://www.facebook.com/pages/HINDU-NUSANTARA/112672032083#!/photo.php?pid=30792591&o=all&op=1&view=all&subj=112672032083&aid=-1&id=1171091948&oid=112672032083
bli bisa silahkan dicek link ini dan bisa beri tanggapan
Intinya,smw kembali kpd keiklasan,Dan alangkah bgusnya, yadnya yg besar maupun yg sdrhana,di brengi dgn hati yg iklas, rasa bhakti kpd Tuhan,ksadaran akan smw yg d dpt didunia ini hanya pinjaman belaka dan brsifat smentara,mka yadnya trsbt tdk akan ‘hambar’,tp sbliknya jika hanya membuat bnten yg besar,gedee,tp ddsari dgn ksmbongan,ataupun krna trpaksa, mka smw’a kan hambar,ga berguna…yadnya ga ada hubungannya dgn moksha,tp ‘bhakti’ yg di dasari dgn keiklasan qt trhadap Tuhan..bunga,air dan dupa sdah lbh dri cukup dgn di dasari rasa iklas drpada pajegan yg besar2 tp didasari dgn keangkuhan diri dan bukan keiklasan..kirang langkung nunas sinampura..
Tuhan menggerakkan setiap partikel di alam semesta ini , banten besar dan kecil , mewah dan sederhana juga terbuat atas karunia Tuhan , dengan bhakti maupun unutk sekedar pamer , juga adalah atas karunia Tuhan , beruntung sekali orang yang mampu memasukkan unsur Bhakti dalam setiap pekerjaannya…
osa..
Krisna adalah Visnu
atau
Visnu adalah Krisna ?
kalau Krisna, knapa nama nya VAISHNAISM..? gk KRISHNAISM?
VAISHNAISM jg ada 4.. Brahma Gaudya hanya salah satunya.
@ Ngarayana
Kamu hebat dan berani Lho…. mulai menyadarkan kepada pngikut Hindu sendiri yang intinya agar tidak terjebak dalam tradisi dan adat istiadat, karena sumber yang utama adalah Veda.
Tapi kamu berani nggak mengingatkan saudarama, tetanggamu, sebanjarmu di Bali……?
kamu emang enak, ada di Jogja jadi bebas buat banten ato tidak.
Di propinsi Jatim paling timur, Banyuwangi, pernah mengeluarkan perda larangan untuk menjual janur ke bali, karena pohon kelapa di sana banyak yang rusak, karena janurnya dikirim ke Bali.
Ya….. paling enak emang jadi pengikut Hare Krisna ggak ribet dech, dan itu fakta lho.
Menurut pendapat saya, apa yg dipaparkan oleh sdr. Ngarayana adalah benar, dmn terjadi kemerosotan tentang hindu di bali. Biaya banten dialihkan ke pendidikan hindu yg kaya akan nilai filosofis jg benar, saya setuju, buat apa buat banten tp ga ngerti maknanya. Tp ada satu hal yg ingin saya tanyakan pd ngarayana, apakah semua yg anda paparkan dilihat dari sudut pandang jnana marga? Bagaimana kalau ditinjau dari bhakti marga?? Dan kalau sumber sastra merupakan pedoman ajaran kebenaran, seandainya di seluruh alam semesta buku terbakar, apakah kebenaran jg ikut musnah?
Terima kasih atas penjelasannya. Salam
@ All
Sebenarnya yang bisa untuk dijadikan penggerak perubahan mindset (budaya) keber-agamaan di Bali adalah para tokoh adat, para pemangku, para sulinggih, kalangan akademisi, dan guru-guru agama (PHDI nggak usah dihitung)… Tapi yang paling potensial adalah dari kampus + pemerintah. Kampus punya rancangan yang kemudian disambut dan didukung dengan kebijakan pemerintah. Nah, bagaimana dengan kampus yang lebih khusus kampus Hindu? Bagaimana Pak Bupati dan Pak Gubernur?