Dalam beberapa artikel sebelumnya yang berkaitan dengan sains dalam Veda ternyata mendapat respon yang cukup menarik di beberapa forum dan blog tetangga. Terutama sekali yang membahas masalah penciptaan alam semesta dan mengenai hipotesa teori penciptaan Black Hole dan White Hole. Memang harus saya akui bahwa respon yang muncul tidaklah selalu positif atau setidaknya berupa kritik pedas yang dapat membangun, tetapi banyak juga yang melemparkan isu skeptis negatif. Tidak tanggung-tanggung dalam sebuah blognya ada yang menyerang institusi dan almamater saya.
Memang harus saya akui bahwa dalam penulisan artikel sains dan korelasinya dengan Veda, saya tidak selalu menggunakan metodologi ilmiah sebagaimana penulisan-penulisan jurnal-jurnal hasil penelitian ilmiah yang umum digunakan di dunia ilmu pengetahuan saat ini. Kenapa demikian? Karena harus disadari bahwa titik pangkal dari agama (dalam hal ini Veda) dan sains sangatlah berbeda. Metologogi pendekatan dalam menarik ākebenaranā dari kedua bidang ini sama sekali tidak bisa disamakan. Oleh karena itu, untuk menanggapi permasalah yang muncul akibat artikel saya tersebut dan untuk menyamakan persepsi dan pola pikir, saya harap ulasan berikut akan dapat memberikan sedikit gambaran.
Diceritakan bahwa terdapat lima orang yang sudah buta sejak lahir sehingga sama sekali tidak pernah merasakan dunia ini dengan indria penglihatannya. Mereka hanya berinteraksi dengan lingkungannya menggunakan indra peraba, pendengaran, pengecap dan ciuman. Pada suatu hari mereka sedang asyik bergurau di bawah sebuah pohon di pinggir sebuah sungai. Pada saat itu lewatlah seekor gajah dewasa yang memang sering berkubang di dekat peristirahatan mereka. Salah seorang dari antara orang buta tersebut berteriak; āOh.. teman-teman ada gempa bumi, ada sesuatu yang sangat besar sedang berusaha merubuhkan bumi kita, mari kita selidiki dari manakah sumber getaran iniā. Sesaat setelah itu akhirnya orang buta pertama tepat memegang bagian perut si gajah yang sedang berbaring. Setelah meraba-raba berapa saat, sontak dia berkata; āWah ternyata benda yang bisa menggetarkan dunia persis seperti tembok, badannya besar sekali dan kulitnya kasar serta berbulu jarangā. Setelah itu orang buta kedua datang mendekat dan dengan penasaran meraba-raba sang gajah. Namun yang dia pegang ternyata tidak sama dengan orang buta pertama, melainkan dia memagang belalainya. Sehingga tentu saja orang yang kedua ini berteriak membantah apa yang disampaikan oleh temannya; āBukan, binatang ini persis seperti ular besar, mungkin dia sudah mencoba membuat lubang besar di dalam perut bumi kita sehingga membuat tanah kita bergetarā. Orang buta ketiga akhirnya juga mendekat karena penasaran. Namun lagi-lagi sayang sekali dia tidak meraba bagian gajah yang sama dengan kedua temannya, melainkan dia memegang gading si gajah. Akhirnya orang buta yang ketiga ini berusaha memberikan kesimpulan penengah dengan mengatakan āBukanā¦ bukan seperti tembok atau ular besar, kalian salah. Binatang ini sangat halus tetapi sangat keras, persis seperti tongkat besi besar halus yang meruncingā. Namun orang buta keempat datang lagi dan tepat memegang ekor si gajah. Akhirnya orang buta ini juga mendapatkan kesimpulan lain dengan mengatakan; āBinatang ini seperti kipas cemara yang buat arati (kipas buat upacara dan juga jaman dulu sering digunakan untuk mengipasi seorang Raja)ā. Lalu orang buta yang terakhir juga ikut mendekat, namun lagi-lagi ternyata dia meraba bagian yang juga berbeda dengan apa yang teman-temannya raba sebelumnya. Dia meraba kaki si gajah. Akhirnya dia berkata; ākalian semua salah, binatang ini seperti batang pohon yang hidup dan dapat bergerak. Mungkin dia sudah loncak-loncat dan menumbuk bumi kita ini sehingga bergetarā.
Setelah puas mengamati si gajah hanya dengan indranya yang tidak sempurna, akhirnya mereka kembali duduk ke bawah pohon yang rindang. Namun karena perbedaan kesimpulan yang mereka dapatkan, diskusi kelima orang buta itu menjadi semakin panas dan tidak pernah menemukan kesimpulan. Masing-masing orang buta tersebut mengemukakan pengalaman nyatanya sebagai bukti otentik kesimpulannya. Semunya ngotot dengan kesimpulannya masing-masing. Berselang beberapa lama, akhirnya lewatlah seseorang yang ternyata merupakan pawang gajah yang sempat mereka pegang. Si pawang tersenyum-senyum mendengarkan perdebatan tiada ujung yang dilakukan oleh para orang buta tersebut. Dalam hatinya si pawang tersebut berkata; ādasar orang buta bodoh, kenapa mereka tidak bertanya langsung dan menerima penjelasan orang normal yang bisa menyaksikan si gajah tersebut secara utuh saja?ā. Si pawang itupun akhirnya mendekat dan berusaha mendamaikan perselisihan. Si pawang berusaha menjelaskan sedetail-detailnya bagaimana kondisi sebenarnya dari binatang yang mereka permaslahkan tersebut. Namun sayang sekali, ternyata berhadapan dengan orang buta yang bodoh tidaklah selalu mudah. Hanya satu orang di antara orang buta tersebut yang menerima penjelasan yang disampaikan sang pawang, sementara keempat orang buta lainnya masih tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan mengatakan bahwa pendapatnyalah yang paling benar.
Dari kasus lima orang buta dan gajah diatas, sebenarnya memiliki analogi yang sangat erat dengan fenomena Veda dan sains yang berusaha saya jelaskan dalam artikel ini. Kita ini tidak ubahnya seperti orang buta yang sedang berusaha mengenal alam sekitar kita. Karena rasa ingin tahu kita yang besar, kita selalu berusaha melakukan berbagai research. Melakukan trial and error dan akhirnya menarik sebuah kesimpulan dimana kesimpulan ini selalu berubah dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam memperoleh kebenaran, saat ini manusia mengandalkan dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan non ilmiah dan pendekatan ilmiah. Yang termasuk dalam pendekatan non ilmiah adalah antara lain; akal sehat, prasangka, intuisi, penemuan secara kebetulan (trial and error), penerimaan pendapat dari seorang pakar karismatik. Sedangkan pendekatan yang disebut dengan pendekatan ilmiah dan diagung-agungkan oleh dunia sains adalah suatu pendekatan yang kesimpulannya siap untuk diuji oleh siapa saja yang berkehendak untuk mengujinya. Sehingga dalam tahapan ilmiah seorang peneliti harusnya mengikuti tahapan-tahapan dari perumusan masalah, mengajukan dan perumusan hipotesis, pengujian hipotesis dan terakhir adalah penarikan kesimpulan. Semua ini harus dilakukan secara sistematik, berkelanjutan dan dalam kerangka berpikir rasional. Artinya setiap bukti yang diajukan harus dapat dipertanggung jawabkan dan dibuktikan oleh panca indra kita atau justifikasi melalui perhitungan matematis yang dibenarkan. Pendekatan ilmiah seperti ini juga dikenal dengan istilah empiris induktif. Sedangkan dalam bahasa Veda, metode ilmiah ini disebutkan dengan istilah pratyakƱa (pengamatan dan penglihatan langsung) dan anumƤna (menyimpulkan berdasar tanda dan bukti-bukti empiris).
Kaedah dasar yang harus digarisbawahi sebagai sebuah kelemahan metodologi ilmiah adalah kaedah Akumulatif. Ilmu pengetahuan merupakan himpunan fakta, teori, hukum, dalan lain-lain yang terkumpul sedikit demi sedikit. Apabila ada kaedah yang salah, maka kaedah itu akan diganti dengan kaedah yang benar. Sehingga pada dasarnya kebenaran sains bersifat relatif dan temporal, bukan kebenaran mutlak dan final, sehingga dengan demikian ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan terbuka. Metode ilmiah tidak ada bedanya dengan orang buta yang sedang memperdebatkan hewan gajah seperti yang sudah disampaikan di atas. Pemahaman orang buta tersebut akan gajah akan semakin berkembang sedikit demi sedikit bergantung pada usaha mereka melakukan penelusuran dan pembuktian. Mereka harus melalui berbagai macam kesimpulan-kesimpulan salah atau tidak lengkap. Meski suatu saat mereka bisa mendapatkan gambaran gajah secara benar.
Namun apa yang ditawarkan oleh Veda sangat bertolak belakang dengan metode ilmiah. Veda menggunakan metode deduktif, yaitu proses turun-temurun dari mereka yang sudah mengetahui ilmu pengetahuan itu secara sempurna kepada para pengikutnya. Sama persis seperti orang buta yang bersedia menerima penjelasan pawang yang memberi penjelasan mendetail tentang gajah di atas. Orang buta tersebut tentunya jauh lebih mudah menerima kebenaran dari apa yang disampaikan oleh pawang sebagai orang yang sudah mengetahui kebenaran itu dari pada harus melakukan ekspirimen dan perdebatan panjang bukan?
Veda sebagai kitab suci Hindu, berkali-kali menegaskan bahwa kehidupan sebagai manusia tidaklah sempurna karena indria-indria jasmani manusia terbatas dan tidak sempurna, cendrung menghayal, menipu dan berbuat salah. Karena itu mempelajari dan mengerti apa yang disampaikan oleh Veda, terutama sekali yang bersifat spiritual dan transendental tidak bisa dilakukan secara pratyakƱa (pengamatan dan penglihatan langsung) dan anumƤna (menyimpulkan berdasar tanda dan bukti-bukti empiris). Veda mengatakan bahwa ajaran-ajaran yang jauh dari jangkauan alam logika manusia lebih baik dimengerti secara sabda-pramƤƫa, mendengar dari sumber yang benar dan sah yaitu dari para guru kerohanian (ƤcƤrya) secara paramparƤ (proses menuru/deduktip) dalam suatu garis perguruan (sampradƤya) sah dan jelas (perhatikan Bhagavad Gita 4.34 dan 4.2). Metode ini sama seperti contoh orang buta yang mau menerima penjelasan pawang dalam cerita analogi di atas.
Hanya saja, mereka yang berwatak materialistik sempit, sering kali menolak proses sabda-pramƤƫa sebagaimana yang disarankan oleh Veda. Mereka berkata bahwa proses sabda ini mengharuskan orang percaya secara membabi buta, patuh dan tunduk pada dogma, berpegang pada keyakinan tanpa dasar atau khayalan. Menurut mereka, proses sabda tidak bisa dipercaya karena tidak ilmiah yaitu tidak didukung bukti-bukti empiris yang dapat dilihat. Mungkin sikap seperti ini muncul akibat kejadian pahit yang pernah menimpa umat manusia. Para rohaniawan dari golongan agama tertentu terlibat perselisihan berdarah dengan kelompok ilmuan yang mempertanyakan kebenaran yang disampaikan oleh kitab suci agama tersebut, terutama sekali mengenai apakah bumi itu benar-benar datar. Berdasarkan berbagai pembuktian, ternyata memang benar bahwa kesimpulan kaum agamawan yang berdasarkan kitab suci tersebutlah yang salah, sehingga hal ini otomatis mendorong banyak ilmuan menjadi skeptis dan tidak percaya lagi pada kitab suci agama bersangkutan. Mau tidak mau, suka tidak suka harus diakui bahwa tidak semua agama itu sama. Dan mungkin juga tidak semua agama lahir dari Sang Maha Pencipta. Atau mungkin ada beberapa ajaran agama yang sudah mengalami distorsi sehingga suatu pembahasan yang harusnya menghasilkan kesimpulan yang sama jika didekati secara ilmiah (empiris induktif) berdasarkan pada kesimpulan agama (empiris deduktif) tidak dapat tercapai. Untuk suatu kasus komplek yang sulit disimpulkan oleh pengamatan indria, tentu tidak mudah untuk mengatakan kesimpulan agamaah yang salah. Tetapi untuk suatu kasus yang sangat mudah diamati, tetapi bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh agama sudah barang tentu ajaran agamanyalah yang perlu dipertanyakan.
Bagaimana dengan Veda? Jika seseorang ingin mengerti suatu hal secara empiris, Veda juga telah menyediakan sistem filsafat SƤƬkhya untuk menelaah apara-vidyƤ (ilmu pengetahuan material) yang masih terjangkau oleh pengamatan panca indria meski sangat terbatas. Dengan sistem SƤƬkhya ini, apa yang disampaikan Veda siap untuk diuji dan dipertanyakan kebenarannya secara empiris deduktif. Hanya saja, jika sudah membicarakan para-vidyƤ, pengetahuan tentang Tuhan dan jƩva yang non material, maka proses empiris deduktif ini sama sekali tidak akan bisa digunakan lagi karena hal-hal rohani sangat berbeda dan tidak tersentuh oleh teori-teori materialistik yang hanya berlaku di dunia material.
Gambar di atas memperlihatkan ketidaksempurnaan indria kita karena terpengaruh ilusi optis
Pada dasarnya Agama dan sains juga memiliki titik temu. Agama membahas hal material dan hal spiritual dan sains membahas hal material yang dapat diamati oleh indria manusia semata. Tidak semua hal material dijelaskan oleh agama karena memang tujuan akhir dari sebuah agama adalah alam rohani, namun demikian pada semua irisan permasalah ternyata sering kali ranah yang dibahas oleh agama merupakan permasalahan yang sama dengan yang dibahas oleh sains. Pada titik inilah sebenarnya sains dan agama bisa berkolaborasi. Pada irisan ini agama dapat mengontrol sains ataupun sebaliknya, sains membuktikan kesahihan suatu agama.
Mengenai pembahasan bagaimana menilai kebenaran suatu agama mungkin dapat dibaca lebih lanjut di artikel “Bagaimana menilai kebenaran suatu agama?“
Jadi dari uraian panjang lebar di atas, pada dasarnya meskipun mungkin membahas hal yang sama, antara agama dan sains memiliki pendekatan yang jauh berbeda. Sayangnya, perbedaan mendasar seperti ini sering kali tidak disadari oleh seseorang. Seorang yang terdidik secara akademis terlalu memelihara ego mereka dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan secara empiris induktif adalah yang paling hebat dan selalu superior dibandingkan dengan metode empiris deduktif. Mereka selalu berlingdung di balik ābaju ilmiahā dalam memonopoli kebenaran. Padahal kenyataannya terdapat beberapa bidang yang sama sekali tidak bisa disentuh dengan dunia sains dan hanya bisa dijelaskan oleh ranah agama dan demikian juga sebaliknya.
Om Tat Sat
Dikutip dari berbagai sumber.
muantaapp bli…lanjutkan..
Pseudoscience!
Dari cerita ttng “gajah dan orang buta” dapat disimpulkan, baik orang buta maupun pawangnya sama2 bodoh…!!! Orang2 buta itu bodoh karena hanya memegang sebagian saja dari keseluruhan tubuh si gajah (emang ada orang buta sebodoh itu??? š ),,, Sedangkan pawang tsb juga bodoh karena tidak mau dan/atau tidak mampu menuntun orang2 buta itu utk memegang/meraba keseluruhan bagian tubuh si gajah sehingga setidak-tidaknya mereka (orang2 buta) memiliki gambaran yg sama ttng gajah yg diraba-nya.
Memang betul sains cepat mengalami perkembangan dan perubahan, tapi hal itu bukan berarti ajaran agama yg tidak pernah mengalami perubahan dan selalu mengandalkan cocologi tiba2 menjadi benar tanpa ada bukti yg membenarkannya.
“Orang bodoh bukanlah orang yg selalu berusaha utk mencoba dan mencoba, tetapi orang bodoh adalah mereka yang percaya begitu saja akan suatu hal yang mana tidak/belum ada bukti kebenarannya.”
Orang theis percaya kepada Tuhan karena Tuhan bukanlah kebenaran, sebab yg namanya kebenaran pasti dapat dan siap dibuktikan kebenarannya sehingga tidak diperlukan lagi rasa percaya atau tidak percaya. Hmmm,,, apakah Tuhan sebegitu lemah dan/atau berhati dengki sampai2 tidak bisa dan/atau tidak mau membuktikan dirinya dgn (misalkan) memberikan penglihatan rohani sehingga semua manusia bisa melihat-Nya; atau Ia selalu menjelma dalam bentuk fisik dan bergaul dgn manusia; atau Ia selalu menyapa manusia dgn suara-Nya yg merdu, dsb….
Jangan salahkan manusia yg sekarang ini banyak yg tidak lagi percaya akan keberadaan-Nya karena tiadanya bukti bahwa Ia benar ada. Ia boleh2 saja tidak membuktikan eksistensi-Nya tanpa harus mengancam “manusia yg tidak percaya” akan masuk neraka, tidak dapat mencapai pembebasan, tidak dapat kebahagiaan kekal, selalu menderita, dsb… ^^
“Dia (katanya) ada tanpa bukti, tentu kita juga dapat membubarkan-Nya tanpa bukti. Yup,,, seperti kasus yg sudah kadaluwarsa karena tidak ada atau kurangnya bukti yg mendukung…” š
.
.
Salam š
Assalamu’alaikum.
Aku ga percaya herwitz itu ada.
Mungkin aja kan koment atas nama herwitz cuman kebetulan muncul akibat erornya sistem komputer.
Wassalam.
Kayaknya yang ajaran agamanya tidak boleh dibuktikan oleh sains adalah agama-agama Abrahamik deh.. Hindu dengan tegas mengatakan; “Walaupun 1000 Veda mengatakan api itu dingin, janganlah kamu percayai, tapi buktikan”. Bahkan ajaran Sang Buddha, Avatara Tuhan yang ke-9 dalam Dasa Avatara yang tertuang dalam kitab Kalama sutta mengatakan; āJangan percaya begitu saja pada sesuatu yang anda dengar. Janganlah percaya begitu saja pada suatu tradisi, karena telah berlangsung untuk banyak generasi. Janganlah percaya pada sesuatu yang sedang dibicarakan dan didesas-desuskan oleh banyak orang. Janganlah percaya begitu saja pada sesuatu karena telah tertulis dalam kitab-kitab agama. Janganlah percaya begitu saja sesuatu yang diucapkan gurumu atau orang-orang yang lebih tua.ā
Yuk jangan membabi buta dalam mempercayai agama bro…….
@ Samaranji
.
.
Kalau aku Maha Kuasa dan Maha-tak-terbatas, sekarang juga aku akan hadir di depanmu jika kamu ingin tau apakah aku itu benar ada atau tidak. Eitss,,, tapi kedua sifat tsb belum cukup bila tidak didukung dgn kemauan atau kemurahan hati… š
Yeah,,, memang ada kemungkinan tulisan atau komen2 disini muncul secara tiba2 entah karena sudah dirancang atau bagaimana,,, tapi hingga kini belum ada tuh komputer yg bisa ngasih komen yg mengkritik pada pokok pembahasan kecuali komputer itu memiliki kecerdasan yg sama atau diatas rata2 manusia,,, ^^
.
.
Salam š
Assalamu’alaikum.
@ herwitz
SELAMA kecanggihan n kecerdasan sains gak bisa membuktikan keberadaanmu ato wujud aslimu, MAKA sy tidak percaya anda ada (ato setidaknya anda adl manusia)
(koment ini sy adaptasi dr pendapat kaum atheis yg mengingkari existensiNYA).
Wassalam.
Buat apa juga sains dan kecanggihan teknologi harus membuktikan-ku,,, emangnya aku Alien atau buronan???
Aku juga gak menyuruhmu percaya akan keberadaanku, dan walaupun kamu tidak percaya aku itu benar ada, aku gak bakal memasukanmu ke dalam neraka jahanam karena aku lebih baik dari Tuhan-mu yg seneng mengancam dan mengiming-imingi,,, ^_^
Assalamu’alaikum
herwitz katanya ada (ato mengaku manusia) walaupun tanpa bukti, berarti qt juga bisa membubarkannya tanpa bukti,,, yup sprti kasus yg udah kadaluwarsa karena tak ada ato kurangnya bukti.
(lagi2 ini sekedar koment adaptasi…).
Wassalam
@ Atas
Klo kamu tidak percaya aku atau siapa saja yg kamu ajak “ngomong” disini itu benar ada karena kamu belum pernah melihat bagaimana rupa-nya, utk apa kamu capek2 membalas komenku atau mereka,,, š Yeaa,,, kamu sperti orang gila yg asyik berkomentar ria dgn sesuatu yg kamu sendiri tidak percayai benar ada…. š
Apakah bukti kalau orang2 yg berkomentar disini itu benar ada??? Tentu dari komentar atau tulisannya. Kalau apa yg disampaikannya selalu sama dan diulang-ulang, dapat dipastikan itu adalah program yg sebelumnya sudah dirancang oleh Ada (makhluk) yg sangat cerdas. Sedangkan kalau apa yg disampaikannya selalu berbeda yg mana belum ada mesin atau program yg dapat membuat tulisan seperti itu, kemungkinan terbesar atau pasti tulisan tsb dibuat oleh Ada (makhluk) yg sangat cerdas. Apakah benar ada “makhluk yg sangat cerdas” di bumi ini??? Yaa,,, mereka adalah manusia… ^^
.
.
Salam š
Assalamu’alaikum.
@ ATAS nama herwitz
kalo kamu ga percaya Tuhan ADA, ngapain juga capek2 mengingkari firman2NYA
kalo kamu mengakui kecerdasan manusia, mengapa ketika ada sebagian manusia cerdas (akal, mental, spiritual) yg menemukan existensi Tuhan kamu malah mengingkarinya ?
(attention : koment ini HANYA utk para pengingkar TUHAN).
Wassalam.
@ Atas
Mengingkari bijimana,,,??? š
Bagi yg tlah menemukan eksistensi Tuhan, apakah pny bukti??? ^^
Salam š
Assalamu’alaikum
@ herwitz (yg mengaku ada walau tanpa bukti)
bukti bhwa Tuhan tidak ada, mana ?
(jawab juga dong yg di postingan “garis perguruan srila prabhupada”) makasih,,,
Wassalam.
Nih, aku copas dari tulisanku di forum KAI… ^^
.
.
Tuhan dan alam semesta beserta isinya ibarat seorang pembunuh dan korban serta peralatan yg memungkinkan digunakan utk membunuh. Orang theis yang mengklaim bahwa ada Tuhan yg tanpa bukti karena ada alam semesta beserta isinya,,, seperti seseorang yang berteriak ada pembunuh tanpa bukti karena ada mayat, batu, pisau, dan darah disekelilingnya. Yup,,, ditempat kejadian sama sekali tidak atau belum ditemukan bukti bahwa mayat itu dibunuh oleh seseorang karena tak-adanya sidik jari, air liur, dan rambut yang membuktikan keberadaan si pelaku. Biasanya kasus semacam ini akan kadaluwarsa jika melebihi batas-waktu penyelidikan karena tidak ada atau kurangnya bukti yang mendukung… Begitu pula dengan “kasus” Tuhan tanpa bukti yang (katanya) menciptakan alam semesta. Seharusnya, “kasus” tersebut dapat dibubarkan juga tanpa bukti (kadaluwarsa) karena telah beribu-ribu tahun, manusia belum juga menemukan bukti keberadaan Tuhan,,, Yeaa… karena kebodohan-Nya itu sendiri yang tidak mau dan/atau tidak mampu meninggalkan bukti yang gampang ditemukan seperti sidik jari Tuhan, air liur Tuhan, rambut Tuhan, atau rekaman suara Tuhan. Kalau Tuhan itu benar Maha Kuasa, Ia seharusnya membuat mata dan telinga manusia mampu utk melihat wujud-Nya atau mendengarkan suara-Nya yang merduu,,, tapi sayangnya, hingga kini Ia tidak mau dan/atau tidak dapat melakukan hal itu karena keburukan dan ketidak-berdayaan-Nya.
Itulah sifat Tuhan yang gemar mengancam siapa saja yang tidak mau menyembah dan mempercayai-Nya, sedangkan Ia sendiri tidak pernah membuktikan eksistensi-Nya dan malah menyuruh manusia utk membuktikan keberadaan-Nya yang tanpa bukti itu,,, Bagaimana caranya membuktikan sesuatu yang (katanya) ada tanpa jejak (bukti) itu “ada” atau “tidak ada”??? Uhhmmm,,,
http://www.facebook.com/topic.php?uid=370060507927&topic=16806
Assalamu’alaikum.
Neh kuperjelas,,,
yang kamu katakan belum bisa disebut BUKTI, itu baru sebatas TEORI.
(yg di postingan “garis perguruan srila prabhupada” bijimana ?) makasih,,,.
Wassalam.
@ Atas
Bagian mana seh aku bilang “belum bisa disebut bukti”??? š
Sejak kemaren aku sudah ngirim komen ke topik tsb, tapi gak masuk2 juga… Mungkin Tuhan Gukguk tidak mengizinkannya… š Nanti aku coba lagi… ^^
Salam, Gukguk Bless U ^^
@ Samaranji
.
.
Kamu bilang:
“siapa sih tokoh pengingkar Tuhan yg bisa anda jadikan sbg āguruā panutan ? Silahkan MEMPERCAYAI dan MENTAATI pendapatnya yg menganggap Tuhan tidak ada.”
—————————————————–
Semua orang juga bisa menjadi dan/atau dijadikan guru atau tokoh panutan, baik itu dari kalangan atheis maupun theis. Aku tidak mempercayai dan mentaati pendapat orang yg menganggap Tuhan ada atau tidak ada karena baik orang theis maupun atheis sama2 tidak dapat membuktikan apakah Tuhan itu ada atau tidak sebab Tuhan sendiri tidak memberikan bukti yg dapat diteliti entah karena Ia berhati dengki dan/atau begitu lemah. __””Bagaimana caranya membuktikan ada atau tidaknya sesuatu yg tanpa bukti???””__ Karena tidak ada bukti, aku memilih tidak percaya daripada percaya… š
.
.
Salam ^^
Ohhh,,, akhirnya Tuhan Gukguk memberikan kemudahan juga… ^_^
Assalamu’alaikum.
@ herwitz.
Apa definisi “bukti” menurut anda ?
Disatu sisi anda mengatakan TIDAK PERCAYA pendapat theis maupun atheis yg SAMA2 TIDAK BISA membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Truss mengapa anda cenderung PERCAYA atheis ?
Konsisten dikit dey,,, setidaknya ambil jalan tengah dulu getu.. Siapa tahu yg menurut anda bukan bukti, tapi menurut org lain adlh bukti. Dan mulailah mencari kebenaran. Ok broo…
Wassalam.
Bukti ===> sesuatu yg menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata (sumber: KBBI online),,,
Atheis BUKAN sistem kepercayaan, tapi sistem ketidak-percayaan,,,
.
.
Salam š
Assalamu’alaikum.
Trus,,, definisi “sesuatu” dan “nyata” apa ?
Masih PERCAYA pada “sistem ketidak-percayaan” ?
Makasih,,,
Wassalam.
sesuatu: kata untuk menyatakan barang atau hal yg tidak tentu
nyata:
[a] (1) terang (kelihatan, kedengaran, dsb); jelas sekali; kentara
(2) benar-benar ada; ada buktinya
Sumber: KBBI online
.
.
Samaranji:
“Masih PERCAYA pada āsistem ketidak-percayaanā ?”
******************************
Bisa berbahasa yg bener gak???
Pertanyaanmu itu sama saja dengan “Masih baik pada ketidak-baikan???” atau “Masih melihat pada ketidak-lihatan???”
Gukguk Bless U ^^
Ini ngomongin apa sih? ada yang pernah lihat atom atau partikel ga? ada yang pernah lihat elektron, quark, lepton, muon? ga ada kan? lalu kenapa pada percaya dengan adanya hal-al seperti itu? Hanya karena teori dan perhitungan dari efek keberadaannya. Tuhan juga sama…… ga ada yang pernah lihat, tapi keberadaannya dapat di rasakan. ya ga bro and sis?
Assalamu’alaikum.
@ made
setuju broo,,, dan mari jelaskan pd saudara qt yg satu ini :
@ herwitz
krn sumber yg kamu ambil utk mendefinisikan adlh KBBI online, dng sendirinya kamu menaruh kePERCAYAan pd sumber itu.
Dan mari lihat apa itu per.ca.ya :
1) mengakui atau yakin bhw sesuatu memang benar atau nyata,
2) menganggap atau yakin bhw sesuatu itu benar2 ada,
3) menganggap atau yakin bhw seseorang itu jujur (tidak jahat, dsb),
4) yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bhw akan dpt memenuhi harapannya, dsb)
sumber : KBBI online
>>> dng demikian “sistem ketidak percayaan” adalah nonsense !!! Sistem ini pun sebenarnya PERCAYA pd sesuatu yg pada akhirnya mau ga mau harus menuju pd proses kepercayaan.
>>> pertanyaan2ku itu utk menggiringmu pd filosofi Descartes, “cogito ergo sum” sy berpikir, maka sy ada. Dan selanjutnya akan menuntunmu bhw TUHAN ADA.
Lanjutkan pencarianmu broo…
Wassalam.
@ Made
Bisa dilihat kok, tapi harus pake alat. Partikel itu terbatas dan tidak hidup, makanya ia (partikel) tdk dapat membuktikan eksistensinya. Sedangkan Tuhan yg tidak membuktikan keberadaan-Nya, apakah mau disamakan dgn ciptaan-Nya yg terbatas, tidak hidup, dan tidak kuasa itu,,,??? ^^
“Tuhan juga samaā¦ā¦ ga ada yang pernah lihat, tapi keberadaannya dapat di rasakan”
******************
Kelinci pembunuh manusia, Anjing berkepala seribu, Gajah berkaki sembilan, Sinterklas, dan lainnya juga ga ada yg pernah lihat, tapi keberadaannya dapat dirasakan… š
@ Samaranji
Sejak kapan neh ada istilah “PERCAYA BAHASA”,,, LOL
Assalamu’alaikum.
@ herwitz
sejak kapan bahasa mengenal istilah “tidak percaya”…
Wassalam.
Mas Samaranji dan Mas Herwitz
Mempunyai pandangan berbeda itu suatu kekayaan…
saya teingat apa yang disampaikan
Bhagavad-gita 9.25
9.25 Orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara para dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku.
Kembali lagi Belau pun memberikan kebebasan dalam memilih kita mau kealam mana yang dituju, menurut hemat saya mas samaranji dan Herwitz sama2 benar karena ada konsekuensi alam mana yang akan dipilih
Semoga semua menemukan ketenangan dalam pilihannya dan seandainya ada yang salah semoga pintu taubat segera datang.
Salam damai