Menurut Widyastana (2002) yang dimaksudkan dengan sekolah berbasis Hindu adalah sekolah yang disamping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh siswanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstra kurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata. Tika (2002) menyatakan bahwa hingga saat ini di Indonesia belum ada satupun lembaga pendidikan formal setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat atas yang bernafaskan Hindu. Sebagai akibatnya banyak anak-anak Hindu yang terpaksa bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan non Hindu, dengan konsekuensi kewajiban mengikuti program keagamaan yang ditetapkan oleh sekolah tersebut. Fenomena ini terutama terjadi sebelum diberlakukannya sistem pendidikan agama menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Selain itu, lemahnya sistem pendidikan agama Hindu di Indonesia yang diberikan selama ini ditengarai sebagai penyebab runtuh dan tenggelamnya nilai-nilai dan budaya-budaya Hindu di Indonesia (Mustika, 2002).
Kenyataan tentang tidak berperannya pendidikan Hindu di Indonesia tersebut dibenarkan oleh Wiana (2000). Menurutnya, dalam penerapan nilai-nilai ajaran Hindu khususnya di Bali telah terjadi pergeseran dari konsep dasar ajaran Hindu yang sebenarnya. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama umat Hindu di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan yang bersistem dan berkelanjutan. Pembinaan yang dilakukan selama ini terlalu tradisional dan terhenti sebatas pada aspek ritual semata. Sebagai akibatnya terdapat praktek-praktek beragama Hindu yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang sesungguhnya. Pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali lebih menekankan pada aspek ritual (upacara) dan belum disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan menurut Weda (Suryanto, 2002).
Padahal kalau dikaji sejarah berkembangnya Hindu di dunia, khususnya di India, pada dasarnya Hindu memiliki pola pendidikan tradisional yang sangat sistematis dan terlembaga. Menurut Sharmah (1978) agama Hindu telah mengenal sistem pendidikan agama yang terlembaga, yang merupakan ciri khas pendidikan Hindu sejak masa awal perkembangannya. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan lahirnya kitab-kitab upanisad yang merupakan bagian dari kitab Veda. Kata upanisad dalam bahasa Sanskerta secara harfiah berarti “duduk di dekat kaki guru”. Dalam pengertian yang lebih luas, kitab upanisad berarti kitab-kitab Veda yang berisi ajaran spiritual yang dapat membimbing manusia kepada jalan untuk mencapai kepada Tuhan, yang diajarkan oleh seorang guru spiritual kepada para murid yang duduk dekat di hadapannya.
Pola pendidikan Hindu yang berbasis Veda seharusnya menuntut para siswa tinggal menetap di tempat kediaman guru pengasuhnya selama menuntut ilmu pengetahuan spiritual yang terkandung dalam kitab-kitab Weda (Achyuthan, 1974), Dalam kebudayaan Weda, pola pendidikan yang mengharuskan seorang siswa hidup dan tinggal bersama gurunya disebut pendidikan gurukula. Kata guru berarti “pendidik, pengajar”, sedangkan kula berarti ”tempat tinggal”, dapat pula diartikan sebagai “keluarga”. Jadi gurukula merupakan lembaga pendidikan tradisional Hindu yang bercirikan adanya asrama atau tempat pemondokan disekitar tempat kediaman guru, sebagai tempat tinggal bagi para siswanya selama mereka menuntut ilmu. Tempat pendidikan seperti itu sering pula disebut ashram. Para pengasuh atau pemimpin ashram selain berperan sebagai guru agama, juga sekaligus menjadi pemimpin umat. Dalam perkembangannya, istilah gurukula dikenal secara luas sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional Hindu, yang bahkan menjadi pola pendidikan yang wajib diikuti oleh seseorang dalam masa awal kehidupannya. Kewajiban belajar di bawah bimbingan seorang guru spiritual yang berkualifikasi tersebut diserukan dalam banyak ayat-ayat kitab suci Weda (Bhaktivedanta, 1972).
Dalam penelitian yang dilakuan oleh Suryanto (2002), dengan membandingkan pendidikan agama Hindu yang ada di India dengan di Indonesia, pendidikan Hindu tradisional di India terbukti mampu berperan dalam melestarikan ajaran-ajaran Veda. Ajaran-ajaran Veda diabadikan melalui proses pewarisan pengetahuan suci yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional keagamaan yang bernama gurukula, ashram, vidyapitha, pathasala, dan sebagainya.. Dalam lembaga-lembaga inilah terjadi proses transformasi nilai-nilai dan pengetahuan Veda dari seorang guru atau acharya (orang yang menguasai pengetahuan Veda dan mendasarkan hidupnya pada ajaran-ajaran Veda) kepada para muridnya (Oka, 1992). Menurut Altekar (Sharma, 2001) sistem pendidikan gurukula ini merupakan ciri-ciri umum pola pendidikan tradisional Hindu di India. Ia menyatakan bahwa “the gurukula system which necessitated the stay of the student away from his home at the home of the teacher or in boarding house of established reputation, was one of the most important features of ancient Indian education.” Sebagai lembaga pendidikan gurukula ikut bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan, sedangkan secara khusus gurukula bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi keagamaan Hindu dalam artian yang seluas-luasnya. Dari lembaga gurukula telah bermunculan tokoh-tokoh pemimpin dan pembaharu agama Hindu yang pemikiran dan ajarannya berpengaruh pada dunia.
Hindu di India dan Hindu di Indonesia memiliki banyak persamaan. Hindu di India juga memiliki sekte-sekte yang jumlahnya sangat banyak, demikian pula sekte-sekte Hindu yang berasal dari India pernah berkembang di Indonesia terutama di Bali (Gories, 1974). Masing-masing sekte Hindu tersebut memiliki pola pewarisan ajaran dan pola regenerasi yang hampir sama (Suryanto, 2002). Mereka pada umumnya memiliki lembaga pendidikan dalam model ashram, vidyapitha, atau gurukula. Kata gurukula berasal dari bahasa Sanskerta “guru” yang berarti “guru, pengajar” dan “kula” yang berarti ’tempat tinggal’ atau ‘anggota keluarga’ (Sharma, 2001). Secara harfiah, gurukula berarti “tempat tinggal guru atau keluarga guru.” Istilah gurukula digunakan untuk menyebutkan sistem pendidikan tradisional Hindu dimana seorang murid tinggal dirumah seorang guru dan dianggap sebagai anggota keluarga guru itu. Dalam perkembangan selanjutnya, maknanya lebih menunjukkan pada sistem pendidikan Hindu dimana para siswa tinggal di dalam sebuah komplek pendidikan berasrama bersama guru mereka. Lembaga model ashram, vidyapitha dan pathasala juga memiliki pola yang hampir serupa dengan gurukula.
Berdasarkan kajian sejarah, dalam masa awal perkembangan agama Hindu di Indonesia, model pendidikan gurukula tersebut pernah menjadi model pendidikan keagamaan dengan mengalami perubahan nama menjadi mandala. Berdasarkan hasil penelitian Pigeaud (1938) dan Koentjaraningrat (1985) dinyatakan bahwa pada jaman Majapahit, terdapat lembaga pendidikan Hindu yang bernama mandala, yang merupakan pusat pendidikan agama bagi rakyat umum yang diselenggarakan oleh kerajaan. Pigeaud menyatakan bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, secara berangsur-angsur mandala diubah menjadi pesantren yaitu lembaga pendidikan tradisional Islam yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Hal ini dibenarkan oleh pernyataan Koentjaraningrat, seorang peneliti kebudayaan Jawa bahwa para wali mengadopsi sistem pendidikan yang ada pada masa pra-Islam itu menjadi pesantren, tanpa mengubah pola-pola yang telah ada sebelumnya.
Sisa-sisa pendidikan tradisional Hindu sebenarnya masih dapat ditemukan di Bali. Bali mengenal sistem Desa Pekraman dimana dalam satu Desa Pekraman harus terdapat seorang guru spiritual dan sekaligus pemimpin agama yang tinggal di sebuah Griya, yang selanjutnya juga dikenal sebagai “Surya” atau Pedanda. Sementara anggota Desa Pekraman yang lain disebut sebagai “Sisya”. Kemungkinan kata “Pakraman” ini awalnya berasal dari “Pasraman” yang diadopsi dari kata “Ashrama/Ashram” (Darmayasa, 1984). Sayangnya, saat ini sistem Desa Pekraman yang sejalan dengan konsep Pesraman/Ashram hampir tidak dapat ditemukan lagi. Para Pedanda yang menjadi “Surya” yang seharusnya aktif mengajarkan Sisya-nya kitab suci Veda saat ini hanya menekankan aspek upacara. Sistem yang harusnya mengijinkan proses regenerasi dimana “Sisya” dari lapisan masyarakat manapun jika memiliki kualifikasi suatu saat boleh menggantikan guru spiritualnya sebagai “Surya” sudah menyimpang akibat derasnya feodalisme dengan penerapan sistem Wangsa.
Setelah di Indonesia diadopsi menjadi sistem pesantren, terbukti bahwa pendidikan tradisional Hindu model gurukula atau mandala ternyata mampu berperan sebagai lembaga pendidikan Islam yang handal. Sementara itu, umat Hindu di Indonesia yang semestinya mewarisi dan mengembangkan model pendidikan yang bersumber pada tradisi Veda, hingga saat ini ternyata tidak memiliki sebuah sistem pendidikan formal Hindu yang tersistem dan berkelanjutan. Jadi, adalah tindakan yang sangat tepat jika segenap jajaran umat dan pemimpin-pemimpin Hindu di Indonesia kembali ke pada sistem pendidikan Gurukula yang memang tertuang dalam Veda dibandingkan harus membentuk formulasi pendidikan Hindu yang baru yang diadopsi dari sumber lain yang mungkin malahan dapat menggerogoti dan melemahkan ajaran Hindu itu sendiri. Sistem pendidikan Gurukula yang saya maksud di sini tidak terbatas pada adopsi sistem Gurukula yang ada di India, tetapi juga dapat dilakukan dengan membangkitkan dan mengembalikan sistem pendidikan Gurukula yang penah berkembang di Indonesia seperti sistem orisinil dari Desa Pekraman yang telah saya sampaikan di atas.
Sumber utama:
- Suryanto. (2004). Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula Di India. Yogyakarta: ____.
Bibliografi:
- Achyuthan, M. (1974). Educational practices in Manu, Panini and Kautilya. Trivandrum: M. Easwaran, College Book House.
- Bhaktivedanta, A.C. (1972). Bhagavad-gita As-It-Is. Singapore: Bhaktivedanta Book Trust.
- Darmayasa, Made (1984). Vaisnava Dharma, Denpasar: ____.
- Gories, R. (1954). Prasasti Bali I dan II. Bandung : C.V. Masa Baru
- Tika, N. & Setia, P. (2002). Mengatasi problema proselisasi. Majalah Hindu Raditya, No 61 Agustus 2002, p. 10-12
- Mustika, Made. (2002). Disfungsi pendidikan Hindu. Majalah Hindu Raditya. No 61 Agustus 2002, p. 10-12.
- Oka, Gedong. (1992). Menyelaraskan pola pendidikan tradisional Hindu dengan dinamika pembangunan. Surabaya : Team Pembina Kerohanian Hindu ITS
- Pigeaud, Th. (1938). Javaansche volksvertoningen (performances of the Javanese people). Batavia : Volkslectuur.
- Sarmah, J. (1978). Philosophy of education in the Upanisads. India : Gauhaty University.
- Koentjaraningrat. (1985). Javanese culture. Singapore: Oxford University Press.
- Wiana, Ketut. (2002). Penerapan ajaran Weda di Bali. Majalah Hindu Raditya No 35 Juni 2002, p. 26
- Widyastana, P.A.( 2002). Yadnya pengetahuan, menyelamatkan generasi. Majalah Hindu Raditya No 35, p. 26
@ All
Di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara misalnya sudah banyak pasraman-pasraman didirikan (setiap desa/kelurahan). Pasraman-pasraman ini (kalau tidak salah) mendapat bantuan dana dari Dirjen Hindu, walau sifatnya masih temporer. Tapi sayangnya pasraman-pasraman ini hanya berfungsi sebagai tempat untuk ekstrakurikuler bagi siswa-siswa yang beragama Hindu. Di tempat itu mereka hanya diajari geguritan atau mekidung plus mejejahitan. Soal tatva, jauh. Mengapa seperti itu karena tidak ada guru yang berkualifikasi yang bisa membimbing mereka. Belum ada yang paham Veda. Ini aneh karena di lingkungan itu sudah banyak sarjana agama Hindu yang baru pulang dari berguru di Bali. Jadi, keberadaan sarjana2 agama tersebut tidak memberi warna dalam pergerakan Hindu di wilayah tersebut.
Itu soal pasraman yang belum berfungsi. Tapi bagaimana dengan institusi pendidikan tinggi yang mencetak sarjana2 Hindu?
Institusi yang mapan seperti itu semestinya bisa menjadi mercusuar bagi perkembangan Hindu Nusantara. Tapi rupanya ini baru harapan saja.
Banyak lulusan institusi seperti ini tidak memberi nilai lebih ketika pulang kampung. Beberapa orang malah kecanduan judi. Ada yang jadi peminum arak (mabuk-mabukan). Ada yang kumpul kebo. Mungkin perlu diteliti seperti apa mahasiswa (calon sarjana agama Hindu) yang tinggal kost2an. Saya yakin banyak yang melakukan kegiatan amoral.
Komentar saya ini bukan bermaksud mengumbar aib atau fitnah. Dan bagi sarjana agama Hindu dan mahasiswa yang tidak seperti itu, maka saya acungi jempol. Di pundak kalian ada tanggung jawab untuk mencerdaskan dan mencerahkan umat Hindu.
Salam
Tambahan
Tidak adanya pendidikan dan pembelajaran “disiplin kerohanian” di kampus selama menempuh pendidikan mengakibatkan kampus2 besar seperti itu seperti pohon yang hanya tampak rindang tapi tidak menghasilkan buah. Lulusan-lulisannya hanya menjadi sarjana “tentang” agama hindu, bukan sarjana agama Hindu. “Tentang” Hindunya pun masih menggunakan teori Max Muller. Ironis.
Kita terlalu sering melihat ke belakang daripada melihat ke depan. Terlalu bangga akan masa2 keemasan Hindu dulu, sehingga kita hanya mengandalkan cerita2 itu untuk mempromosikan Hindu. Orang jarang liat bagaimana kearifan2 lokal Hindu. Kenapa? karena umatnya sendiri terlalu sering menentangnya. Tidak ada yang salah, cuma ada yang kurang tepat saja. Tidak perlu ditentang, cuma perlu ditambahkan/ ditingkatkan/ yang paling parah, dikoreksi.
Pasraman2 yang ada sekarang adalah usaha baik, yang kurang didukung dan ditingkatkan. Wajar bobotnya kurang, jangankan dibandingkan dengan madrasah, dengan pesantren saja kalah. Itu karena ide ini masih baru. Namun ini sudah untung karena masih ada yang ingat untuk “wake up”. Karena umat Hindu yang lain masih merasa bangga dengan titel Hindu agama tertua, Hindu agama universal, sehingga mereka merasa tidak perlu melakukan apa2 untuk Hindu yang sudah besar ini.
Pertanyaannya sekarang:
Apa yang bisa kita lakukan??
@Ngarayana
Gambar diatas itu apa?
@ Sutha
Terkadang ketika kita sudah berjalan dengan kebingungan dan nyaris tersesat, kita mungkin perlu menoleh ke belakang. Menoleh sejenak ke masa lalu jauh lebih baik di bandingkan dengan terus bergerak maju hanya karena kita anti terhadap hal-hal yang kuno, meskipun di balik itu kita mengalami kerapuhan secara massal. Keangkuhan kita terhadap masa lalu membuat kita gengsi untuk memetik wisdom dari masa lalu. Mengenang kejayaan masa lalu bukan sekedar nostalgia, tetapi merupakan refleksi sehingga pencapaian masa lalu bisa kita raih di masa depan secara lebih baik. Kuncinya adalah jawaban dari pertanyaan Bro Sutha kemukakan: Apa yang bisa kita lakukan? Atau apa yang bisa kita sumbangkan? Saya setuju Bro…
Bro, Anda menyinggung kearifan lokal yang ditentang. Bisa berikan contohnya? Salam
artikel yg bagus, memang sepatutnya khusus untuk pendidikan agama hindu harus menerapkan sistem timur (gurukula), selama ini sistem pendidikan hanya menggunakan/mengadopsi sistem barat dimana dari 24 jam waktu seorang siswa hanya 20-30% saja berada dilingkungan sekolah yg diawasi langsung oleh guru, sisa waktu dari 24 jam tersebut sudah digunakan untuk hal2 yg lainnya.
dalam tingkatan brahmacari semestinya 100% waktu harus digunakan untuk mendapatkan ilmu pada guru, namun coba kita lihat sistem pendidikan kita, dimana siswa hanya paling2 sebatas 6-7 jam sehari di sekolah, lalu sisa waktu digunakan untuk hal yg lainnya. belum lg memperhitungkan buruknya pergaulan disekitar (mabuk2an,trek2an,geng2an, acara tv yg kurang mendidik, dll). sehingga membuat siswa merasa bahwa pendidikan agama hindu hanya sebagai pelengkap kenaikan kelas.
gurukula adalah salah satu solusi untuk menanggulangi permasalahan2 itu. namun kalau kita kaji pun, gurukula, ashram, pasraman, semestinya juga di ikuti dengan SDM dan isi materi yg benar2 dapat mengarahkan siswa menjadi manusia yg berguna untuk diri sendiri, dan semua orang. dan jangan pernah ada sistem gurukula yg digunakan sebagai kepentingan terselubung (baca:misionaris). bagaimana kita menunjukkan hindu bukanlah agama yg membebankan, menunjukkan hindu adalah pegangan hidup yg paling indah, bahwa hindu memang sangat berwarna warni, yg lebih mengutamakan nilai-nilai luhur kehidupan manusia. hindu adalah agama semua manusia (universal).
buat teman2…. mohon doa restu `planning` kami membangun gurukula di daerah nusa penida beberapa tahun kedepan menjadi lancar dan sukses, yg rencana didalamnya akan diisi `perkawinan` antara India Sentris dan Bali Sentris, yg melibatkan rsi2 dari india dan juga pendeta hindu di bali. masih tahap pembahasan/pembicaraan alias blueprint. yg punya ide dan saran monggo…… 😉
Salam,-
@putratridharma
menanggapi komentar anda yg pertama, secara umum memang benar yg anda paparkan, tp menurut saya anda terlalu berat sebelah dalam menilai sesuatu, coba cek kalimat anda yg ini :
“itu soal pasraman yang belum berfungsi. Tapi bagaimana dengan institusi pendidikan tinggi yang mencetak sarjana2 Hindu?
Institusi yang mapan seperti itu semestinya bisa menjadi mercusuar bagi perkembangan Hindu Nusantara. Tapi rupanya ini baru harapan saja.”
kita tidak bisa menyalahkan atau menitikberatkan pada satu sisi saja, suatu sistem pendidikan bisa dikatakan berhasil(mercusuar) harus didukung dari berbagai macam faktor, misalkan dari sisi mahasiswanya, seorang mahasiswa yg betul2 concern akan pendidikan hindu, tidak akan melakukan hal2 negatif seperti yg anda sebutkan. saya yakin tidak ada universitas yg mengajarkan mahasiswanya untuk berjudi, mabuk2an, bermain wanita, dll. lalu kalau ada mahasiswa hindu yg melakukan tindakan itu apakah kita menyalahkan universitasnya ?? coba kita kembangkan lagi analisanya.
namun nampaknya anda jg akhirnya menyadari bahwa tidak semua mahasiswa seperti itu, terbukti dari kalimat anda : “……Dan bagi sarjana agama Hindu dan mahasiswa yang tidak seperti itu, maka saya acungi jempol….”
jadi jgn menununjukkan rasa pesimistis pada suatu institusi, maaf kalau saya salah menilai, mungkin maksud anda kalau institusinya mengajarkan hare krishna pasti akan berhasil, ya mudah2an bisa, mengingat mulianya tujuan pendidikan. masih banyak kok mahasiswa yg tidak 100% membutuhkan institusi/lembaga pendidikan tinggi untuk bisa menjadi orang yg memiliki rohani yg tinggi, mungkin anda contohnya, atau ngarayana jg contohnya . intinya saya cuma ingin mengingatkan kalau analisa permasalahan dengan flexible.
Salam,-
@ Kidz
Berkualitasnya output (sarjana agama) memang ditentukan oleh berbagai faktor. Input, dosen, kurikulum, dan proses yang terjadi di dalam institusi merupakan faktor-faktor yang menentukan. Saya mengerti itu. Input susah untuk dirancang karena berkaitan dengan kualitas individu calon mahasiswa, termasuk potensi bawaan (IQ dan talenta), tetapi dosen, kurikulum, dan proses kan bisa dirancang. Saya tidak mengatakan disiplin rohani yang mestinya dibelajarkan/didikkan itu sama dengan Hare Krishna, tetapi yang saya maksudkan adalah disiplin rohani yang harus dilaksanakan seorang brahmacari (siswa/mahasiswa). Saya pikir di ajaran Saiva pun sama.
Oh ya, saya sangat mengapresiasi rencana mulia anda membangun gurukula. Kalau anda berkomentar sebuah gurukula jangan dijadikan misionaris, saya justru berharap gurukula yang nanti anda bangun ini menjadi center misionaris Veda di Nusa Penida. Dua jempol deh untuk Anda. Saya salut! Semoga Sri Krishna memberikan jalan kemudahan untuk maksud mulia ini. Selamat Bro…
@ Bli Kidz….
semoga cita-citanya berhasil….
semoga Tuhan berkarunia…….
jika ada info, sharing ya. impian sy juga seperti ini……
Semoga diberkati
Salam
Terima kasih atas sumbangannya Bli Ngarayana. Sangat membantu kami yang memang perlu banyak sumbangan karena kami masih dalam tahap merintis!
Sebagai ucapan terima kasih kami, silahkan tengok :
http://hanjayas.blogspot.com/2010/12/pertemuan-dengan-ngarayana.html
Sekali lagi terima kasih.