Saya lahir dan besar di sebuah keluarga besar di sebuah desa kecil di Tabanan. Rumah tempat tinggal keluarga kami terletak hanya beberapa puluh meter dari area pekuburan dan komplek pura Dalem. Orang-orang biasanya memanggil daerah tempat tinggal kami sebagai “Krutug”. Tempat yang dianggap sangat angker oleh sebagian besar orang di desa kami. Sehingga tidak salah kalau kami biasa dijuluki “Nak Krutug” (Orang-orang Krutug).

Orang tertua di keluarga yang pernah saya kenal sejak saya lahir hanyalah cicit yang merupakan ibu dari kakek. Waktu saya kecil, saya melihat sendiri banyak orang-orang datang menemui cicit untuk meminta bantuan menyelesaikan masalah-masalah yang dikatakan magis. Mulai dari masalah sakit yang tak kunjung sembuh, “pemalian” karena diganggu mahluk halus, sampai ke masalah menerawang barang hilang. Jika ada orang datang berobat, biasanya cicit akan datang ke merajan dan memetik beberapa daun “kayu sugih” serta beberapa daun pandang wangi. Daun-daun itu diiris tipis dan dicampur bawang. Dengan campuran daun tersebut si cicit mulai mengorek-ngoreknya di atas nampan kecil dengan jari-jari lusuhnya. Unik dan ajaib, dari sana dia bisa menerawang dan melihat suatu kondisi secara jarak jauh. Dia bisa melihat kondisi pekarangan rumah, sawah, kebun atau pun letak suatu barang yang hilang. Sejauh yang pernah saya saksikan sendiri, hampir tidak ada tebakan si cicit yang meleset. Semua orang yang datang yang dikonfrontir mengenai kondisi tempat tinggal mereka membenarkan penjelasan si cicit. Sebuah kemampuan unik yang kabarnya sama sekali tidak pernah dia pelajari.

Kira-kira pada saat saya masih duduk di bangku SMP, saya memiliki bengkel sepeda langganan. Setiap terjadi kerusakan, saya selalu ke sana karena hasil kerja bengkel tersebut memang dikenal rapi dan bagus. Mungkin karena kinerjanya yang bagus itu juga lah yang menyebabkan bengkel itu menjadi selalu rame. Dari bengkel kecil dengan peralatan seadanya akhirnya bisa berkembang menjadi cukup besar dan dengan peralatan yang lengkap. Bengkel itu tidak lagi hanya memperbaiki sepeda, tetapi juga berkembang menjadi motor, mobil, las dan juga pengecatan. Pemilik bengkel yang sebelumnya juga menjadi mekanik tunggal akhirnya  juga mempekerjakan mekanik baru. Namun sampai pada suatu ketika saya terkejut ketika bengkel itu ditutup. Desas-desus mengatakan bahwa pemilik bengkel yang awalnya dikenal sebagai “wong jaba” yang tidak memiliki “soroh wangsa” sudah menemukan leluhurnya dan ternyata dia sudah menjadi “soroh Ida Bagus”, menjadi keturunan keluarga-keluarga yang dianggap terpandang oleh sebagian orang Bali yang mendewakan sistem Kasta atau Wangsa. Mudah-mudahan saja tutupnya bengkel itu bukan karena alasan sudah berpindah clan sehingga tidak mau lagi disebut dengan sebutan “nak jaba”.

Seingat saya, pada saat itu dan bahkan mungkin masih berlangsung sampai sekarang, hampir semua orang sibuk mencari soroh atau keturunan mereka masing-masing. Mereka sibuk mempertanyakan warga pasek atau warga arya apa mereka. Tetangga di sebelah rumah saya bahkan rela mendatangi sekian banyak “orang pintar” dengan harapan bisa menjawab siapa leluhur mereka. Beberapa orang berujar bahwa mengetahui leluhur itu sangat penting karena tanpa mengenal leluhur, leluhur tidak akan merestui keturunannya sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak mungkin terwujud. Mungkin anggapan itulah yang memicu sebagian orang Bali sibuk mengejar leluhurnya. Tetapi mungkin saja dalam benak beberapa oknum yang lain juga berharap jikalau mereka adalah keturunan tri wangsa sehingga dengan demikian mereka pikir orang-orang akan tunduk hormat kepada mereka. Kan lumayan bisa diperlakukan istimewa dalam lingkungan masyarakat. Ya ga?

Pada suatu kesempatan disaat cicit, dan ketiga kakek yang merupakan anak kandung si cicit berkumpul, saya pernah nyeletuk mempertanyakan masalah leluhur ini. Kakek kedua menyatakan bahwa cikal bakal keluarga besar kami adalah dari Puri Tabanan. Beliau mengatakan karena leluhur kami memiliki kesaktian khusus, akhirnya leluhur kami diutus ke desa yang kami tempati sekarang untuk menangani beberapa masalah termasuk mengusir hama semut yang merajarela dan memulai koloni baru di sana. “Itulah sebabnya kenapa setiap ada upacara di pura Dalem, maka harus meminta tirtha (air suci) dari tempat suci keluarga kita”, sahut kakek ketiga membenarkan. Namun ironisnya, saat saya mengutarakan masalah sanggah yang terletak di Beji yang saya anggap unik karena posisinya yang menghadap arah “kaja” atau menghadap gunung dimana pada umumnya semua sanggah di bali menghadap “kelod”, membelakangi gunung atau menghadap “kauh” membelakangi matahari terbit, kakek ketiga malah bercerita bahwa sebenarnya asal-usul keluarga kami adalah dari Pura Batukaru yang saat ini merupakan salah satu Kayangan Jagat (pura-pura terbesar) di Bali. Mereka mengambil pembenaran dengan mengatakan bahwa itulah sebabnya setiap upacara di Batukaru maka kami wajib nangkil dan mekemit semalam suntuk di sana. Melihat simpang siur ini, sebagai anak yang masih polos saya nyeletuk berkata, “Kenapa tidak si cicit aja suruh menerawang. Kan selama ini hampir semua permasalahan orang yang disampaikan ke cicit bisa diterawang. Kenapa harus susah-susah berasumsi ini dan itu? Masak masalah orang bisa diselesaikan, lalu masalah kita tidak?”. Namun ternyata secara mengejutkan kakek tertua dan diamini oleh si cicit mengatakan bahwa kita tidak perlu mempertanyakan siapa leluhur dan apa clan keluarga kami. Katanya yang perlu kami lakukan adalah berbuat sebaik-baiknya dalam tatanan yang sudah ada. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tetua-tetua terdahulu sudah mewariskan sejumlah tempat suci tempat berstananya Tuhan dan leluhur, sejumlah lontar yang dapat dijadikan tuntunan dan kebiasaan selalu tangkil ke Pura Batukaru setiap ada upacara di sana. Bahkan dikatakan bahwa pada jaman dahulu, bapak mereka, yaitu suaminya cicit yang sudah meninggal rela nangkil ke Batukaru dengan menempuh perjalanan selama dua hari satu malam dengan berjalan kaki. Wujud bhaktinya juga diperlihatkan dengan memikul beberapa batu besar dari Batukaru yang saat ini teronggok di merajan dan dijadikan pondasi sanggah di rumah.  Batu yang cukup besar yang sepertinya mustahil diangkut dengan cara dipikul seorang diri dengan jarak yang sangat jauh oleh manusia jaman sekarang. Pesan untuk tidak meributkan masalah garis keturunan itu diulang lagi oleh kakek tertua menjelang beliau meninggal.

Namun sudah sekitar 10 tahun berlalu disaat cicit dan kakek tertua sudah tiada, ternyata permasalahan leluhur ini dicuatkan kembali oleh salah satu pecahan keluarga besar kami. Sekitar hampir 1 tahun yang lalu saat piodalan di Pura Batukaru saya sengaja pulang ke Bali dan mengikuti kebiasaan yang sudah-sudah. Itu adalah saat pertama saya bisa ikut lagi nangkil dan ngemit di sana setelah lebih dari empat tahun absen karena tinggal di perantauan. Jika biasanya kami hanya sembahyang di empat tempat, yaitu pertama di Beji, Dalem, Uttama Mandala dan terakhir di pura kecil di sebelah timur Uttama Mandala, namun saat itu ada sedikit tambahan. Di Uttama Mandala kami sembahyang dua kali. Satu dengan cara dan di tempat yang biasa, dan yang baru secara khusus dengan memanggil pemangku di pelinggih yang posisinya di pojok barat laut. Karena merupakan hal baru, sontak saya bertanya-tanya dalam hati. Dengan sedikit bersenda gurau dengan adik-adik dan sepupu yang lain kami memulai perbincangan mengenai apa yang di puja di sanggah yang baru itu. Apakah tidak cukup dengan duduk di tengah dan memuja semuanya secara bersamaan? Adik saya menjawab dengan mengatakan bahwa kebiasaan ini baru terjadi sejak 1 tahun lalu saat tetangga sebelah yang juga merupakan keturunan keluarga kami meyakini bahwa leluhur kami berstana di sanggah tersebut. Dia juga mengatakan bahwa tetangga kami yang itu sudah kemana-mana mencari asal-usul garis keturunan ini. Sudah membangun banyak sanggah baru di rumah dan termasuk membuat pegayungan, sejenis kamar suci khusus buat leluhur. Semua itu mereka lakukan dengan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih baik karena saat ini mereka jatuh miskin dan banyak masalah di dalam keluarganya. Sambil bicara ngalor ngidul saya mengutarakan pertanyaan lagi kepada saudara-saudara saya prihal leluhur yang mana yang dimaksud? Apa leluhur cicit dan kakek pertama yang sudah meninggal, bapak ibunya mereka? Atau di atasnya lagi dan lagi? Akhirnya salah satu saudara nyeletuk, “Tuh tanya si Babe Bli Gung…. Kan dia pak mangkunya… xi..xi..xi..”. Karena penasaran, akhirnya saya juga mempertanyakan masalah ini ke Bapak saya dan jawabannya hanya, “nak keto kone, milunin gen” (ya memang begitu katanya, ikuti aja). Sayang, saya bukan tipe orang yang mudah percaya dan nurut begitu saja. Saya mengejar dia dengan banyak pertanyaan dan mengutarakan bahwa dulu waktu cicit dan kakek pertama masih hidup, mereka melarang keluarga kami neko-neko mengejar garis keturunan. Saya juga mempertanyakan prihal leluhur yang mana yang kita cari? Apakah satu, dua, tiga, empat, lima atau berapa level di atas kita? Ujung dari pertanyaan-pertanyaan yang saya yakin tidak mampu dijawab oleh Bapak saya hanyalah sikap marah. Bapak saya dengan nada keras berkata, “Sini sekarang juga kita ke Puri, kita menghadap Cokordo dan dan tanya langsung ke beliau”. Adik saya malah tertawa cekikikan, “hik..hik..hik… makan tuh bli… tahu rasa”. Dari pada ribut-ribut, akhirnya saya terdiam dan ngikut aja.

Inilah sebuah realita yang sedang berkembang yang menimpa Bali pada umumnya dan juga termasuk orang-orang terdekat saya. Pernahkah kita berpikir sebenarnya leluhur yang kita cari itu leluhur yang mana? Apakah hanya sebatas ibu, bapak, kakek, nenek, buyut dan garis keturunan di atasnya yang masih kita kenal? Ataukah sampai kepada tokoh dalam garis keturunan yang punya nama besar? Hanya karena mereka dulu adalah raja, prajurit besar, tokoh politik besar atau seorang orang suci yang disegani?  Ataukah kita akan mengejar leluhur sampai pada batas yang tidak ada ujungnya? Lalu apa tujuan kita mengejar dan mengetahui itu semua? Apakah benar untuk mengenal dan akhirnya berbhakti kepada mereka? Atau untuk gagah-gagahan hanya karena kita punya leluhur yang punya nama?

Kalau hanya mengejar garis keturunan sampai pada batas kakek nenek atau 3-4 di atas mereka lagi, saya yakin tidaklah terlalu sulit. Dan jika memang itu perlu untuk mengenang jasa-jasa mereka yang menyebabkan kita bisa terlahir ke dunia ini sebagai manusia dan akhirnya kita bisa menghormati mereka dan mendoakan semoga mereka mendapat tempat yang paling baik di alam sana, saya rasa itu adalah usaha yang bagus dan patut di apresiasi. Namun bagaimana kalau yang dikejar hanya sebatas mencari nama-nama leluhur yang dikira memiliki nama menjual dan akhirnya kita menggunakan tameng nama besar itu sebagai sebuah kebanggaan? Menggunakan garis kelahiran itu hanya untuk mendapatkan gelar tri wangsa di masyarakat untuk mendongkrak egoisme kita dengan harapan dihormati oleh orang-orang “jaba”? Saya yakin leluhur kita yang telah insaf akan dirinya tidak pernah merestui keturunannya untuk berbuat serendah itu. Leluhur kita yang sudah terbebas dari ikatan material juga tidak akan pernah minta untuk dipuja ataupun sekedar dikasi “segehan nasi pasil”. Mereka pasti akan lebih senang jika kita bisa hidup harmonis berdasarkan tatanan dharma dan pada akhirnya sadar akan Tuhan.

Sebenarnya, kalau kita ingin mengejar garis keturunan, jangan pernah tanggung-tangung hanya sampai pada satu titik saja. Jangan puas hanya sampai pada kesimpulan bahwa kita adalah keturunan Dalem Watu Renggong, kita adalah keturunan Arya Kenceng, Pasek Gelgel, Sapta Rsi dan sebagainya. Tanya kedalam diri kita dan dorong diri kita untuk mencari leluhur dari leluhur yang kita banggakan tadi. Siapa leluhur Dalem Watu Renggong? Siapa leluhur para soroh Arya, para soroh Pasek dan juga soroh Sapta Rsi yang kita banggakan itu? Jika kita mau jujur dan bersedia merunut garis keturunan tersebut, pada akhirnya dari sekian banyak garis keturunan akan semakin mengerucut-mengerucut dan mengerucut. Kita menyebut diri sebagai manusia, maka itu artinya kita sudah mengakui diri sebagai keturunan “Manu” karena asal kata dari Manusia sendiri adalah “Manu”. Lewat pustaka suci Veda kita mengenal bahwa dalam satu siklus penciptaan ini ada empat belas Manu, yaitu mulai dari Svayambhu, Svarocisa, Uttama, Tamasa, Raivata, Caksura, Sraddhadeva, Savarni, Daksa, Brahma Savarni, Dharma Savarni, Rudra Savarni, Deva Savarni dan Indra Savarni. Sejak awal siklus penciptaan sekarang ini, kita sudah berada pada masa pemerintahan Manu ketujuh, yang artinya sampai saat ini sudah turun tujuh manu, yaitu Svayambhu, Svarocisa, Uttama, Tamasa, Raivata, Caksura,  dan yang memerintah saat ini adalah Sraddhadeva Manu. Artinya, kalau kita merunut sampai pada titik ini, maka leluhur kita adalah salah satu dari tujuh manu ini. Dikatakan bahwa Sraddhadeva adalah putra Vivasvan, dewa Matahari. Caksura, Putra dari Caksu. Raivata adalah saudara manu sebelumnya, yaitu Uttama. Uttama adalah putra Raja Priya Vrata. Svarocisa adalah putra dewa Agni dan manu yang pertama yang disebut Svayambhu Manu adalah ciptaan langsung dari Brahma. Lalu kalau kita runut lagi siapa leluhur para Manu, maka kita akan menemukan titik yang sama, yaitu Brahma sebagai mahluk hidup pertama yang menciptakan segala sesuatu di dunia material ini. Karena Brahma adalah pencipta semua mahluk hidup di dunia ini, maka beliau disebut sebagai Prajapati (awal atau moyang semua mahluk). Jadi pada dasarnya kita semua adalah keturunan dari Prajapati, yaitu dewa Brahma sendiri. Beliaulah leluhur semua mahluk hidup di Bumi ini.

Namun nanti dulu, ternyata pencaharian kita belum selesai pada dewa Brahma. Meski Brahma adalah mahluk hidup pertama yang lahir tanpa Ayah dan Ibu sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Svayambhu atau Atmaabhu. Namun beliau sendiri dalam Brahma Samhita mengakui dirinya muncul dari keberadaan yang lebih agung lagi. Ditakatakan bahwa Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna menciptakan mahat-tattva yang juga disebut Brahman aktif dan mengandung beraneka macam sifat dan keinginan, lalu berinteraksi sendiri. Dan dari padanya kemudian keluar bulatan-bulatan alam semesta (brahmanda) yang jumlahnya tak terhitung. Hal ini terjadi ketika mahat-tattva yaitu Maha Visnu yang berbaring di dalam samudra Karana menghembuskan nafas. Dikatakan bahwa alam semesta yang tidak terhitung jumlahnya, keluar dari pori-pori kulitNya ketika Beliau menghembuskan nafas (Brahma Samhita 5.13). Kemudian Sri Krishna dalam aspeknya sebagai Maha Visnu memperbanyak diri. PerbanyakanNya masuk ke dalam setiap alam semesta (brahmandaatau universe). Di sana, di dalam setiap alam semesta material Beliau berbaring di dalam samudra Garbha yang airnya memenuhi setengah ruang alam semesta. Karena itu, perbanyakan Maha Visnu ini disebut Garbhodakasayi Visnu dan menjadi Purusa-avatara kedua. Dari pusarnya kemudian tumbuh bunga padma keemasan, dan di atas bunga padma itu muncullah Brahma, moyang segala makhluk. Dikatakan pula bahwa setiap brahmanda atau alam semesta memiliki Brahma masing-masing. Brahma di alam semesta kita ini tidak sama dengan di alam semesta yang lain. Jika di alam semesta kita ini Brahma memiliki empat kepala sehingga disebut Catur Mukha, maka di alam semesta yang lain ada Brahma berkepala delapan, enam belas, tiga puluh dua dan bahkan sampai tak terhingga. Pengakuan dewa Brahma dalam Brahma Samhita ini juga dibenarkan oleh Bhagavata Purana 1.1.1.

Jadi dengan demikian, mari kita berhenti meributkan masalah garis keturunan, mengejar clan, wangsa atau soroh. Hentikan ribut dalam masalah perut dan ego seperti itu. Sadarilah bahwa leluhur kita semua adalah Prajapati, dewa Brahma sang pencipta. Dan mari kita sadari keberadaan kita tidak lepas dari Tuhan Yang Maha Esa asal-usul keberadaan Brahma. Ia lah yang disebut Krishna, Visnu, Narayana, Vasudeva dan ribuan nama-nama suci Beliau yang lainnya. Mari hormati dan meminta restu leluhur dari yang paling dekat, yaitu bapak dan ibu kita sampai pada Prajapati yang paling atas. Dan mari memuja Tuhan asal muasal keberadaan leluhur kita, Krishna. Karena Beliau lah leluhur kita yang paling utama.

Om Tat Sat

Translate »