Pada sebuah acara seminar di Bali dengan pembicara seorang narasumber dari Jepang, seorang peserta mempertanyakan apa rahasia dibalik kesuksesan orang Jepang menjadi negara maju padahal mereka tidak memiliki sumber daya alam yang lebih baik dari pada pulau Bali. Orang Jepang ini lama terdiam dan merenung. Entah karena sulit baginya mencerna atau mungkin malu mengungkapkan fakta dan realita yang ada karena takut menyinggung peserta seminar.  Namun akhirnya secara hati-hati dia berkata bahwa secara kualitas manusia Indonesia dan di Bali khususnya tidak jauh beda dari orang Jepang. Bahkan dalam banyak kasus dia menyebutkan bahwa orang Bali jauh lebih jenius dan intelek dari pada orang Jepang. Hal ini dibuktikan dengan prestasi para pelajar dan pekerja Bali di Jepang yang umumnya di atas rata-rata. Tetapi yang membedakan orang Jepang dengan orang Bali adalah antara lain orang Bali kurang inisiatif dan etos kerja kerasnya kurang. Orang Jepang sangat menghargai setiap inisiatif dan inovasi sehingga pemerintah dan perusahaan berani memberikan bonus tinggi kepada mereka yang berprestasi dalam hal ini. Mereka juga sangat menghargai waktu sehingga tidak ada istilah jam karet seperti di Bali..

Begitulah manusia Bali semakin terdesak dan terpuruk karena kurangnya etos kerja dan inisiatif. Banyak pemuda Bali yang terbuai dengan cewek kafe, tuak, sambung ayam, terperangkap dalam jebakan koruptor mental seperti yang sudah disinggung pada artikel bagian satu dan sibuk menjadi pembantu di rumah sendiri sehingga otomatis secara umum orang-orang Bali tersisih di pulaunya sendiri dengan dihimpit berbagai macam masalah ekonomi.

Sekitar bulan Mei 2007 Pan Lagas beranjangsana di salah satu desa di pinggir Selatan kota Negara. Menurut penuturan teman di sana bahwa dulunya penduduk lokal di desa itu sebanyak 75 KK yang semuanya Hindu. Areal persawahan semuanya milik penduduk setempat. Tetapi sekarang jumlah penduduk di desa itu menjadi 2.475 KK yang terdiri dari pendatang dari Jawa 2.000 KK pendatang dari Pandak Tabanan 400 KK dan yang lokal 75 KK. Sawah mereka sebagian besar sudah berpindah tangan kepada Wak Haji ini, Wak Haji itu dan mantan pemilik sawah menjadi penggarapnya. Bila suatu ketika dikemudian hari Wak Haji ikut bertani maka nasib Pura Subak bagaimana? Maukah Wak Haji mengajegkan Pura Subak? Keterdesakan kita dimana-mana adalah karena kita seperti kodok yang duduk santai di samping bunga teratai berisi madu, ngelamun menghayalkan yang muluk muluk di awang-awang. Jangankan kasus pura Subak, saat ini saja kita perhatikan penduduk Bali non-Hindu yang tinggal di suatu desa pekraman, apakah mereka mau ikut nyungsung pura Tri Kayangan? Apa mereka mau mengeluarkan peturunan? Bayangkan jika komunitas mereka semakin besar dan mendesak Hindu, yakin Hindu akan semakin terdesak, semakin susah dan akhirnya pura Tri Kayangan terbengkalai dan mungkin berakhir sebagai suatu cagar budaya mati.

Dari mana akar permasalahan ini? Kenapa bisa terjadi? Semuanya merupakan lingkaran setan seperti yang secara global telah disebutkan dalam artikel sebelumnya.

Hidup Menghayal

Upacara yang meriah sangatlah baik sepanjang dananya berasal dari uang dingin. Agar upacara itu dapat memberi manfaat kepada kita semua maka seharusnya digenapi dengan pelaksanaan susila dan filsafat di dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Tanpa ditindaklanjuti dengan susila dan filsafat maka semeriah apapun upacara itu adalah mubazir. Susilanya berupa perilaku rendah hati, sopan santun, ramah-tamah, jujur, benar, kasih sayang dan dermawan. Filsafatnya berupa pemahaman Trikaya Parisuda, Tat twam asi atau paras-paros sagilik saguluk salunglung sabayantaka, ahimsa dan lain-lain yang semuanya terpapar dalam kitab suci. Namun kebanyakan dari kita berputar-putar di bidang upacara melulu, hanya sedikit yang mau melangkah ke wilayah susila dan filsafat. Dengan demikian kondisi kita seperti “katibangbung” (sejenis kumbang berwarna biru mengkilap sangat indah). Dari luar tampak indah memukau, tetapi didalamnya hampa tanpa manfaat. Ada juga yang seperti kotoran kuda, malenyig-lenyigan tain jaran yaitu diluarnya cantik mengkilap tetapi di bagian dalamnya kasar penuh ampas. Contohnya pada waktu Megawati kalah dalam Pemilu yang lalu, orang Bali ngamuk merusak sarana umum seperti lampu pengatur lalu lintas, gedung perkantoran Bupati Badung di Lumintang Denpasar dibakar. Pilkada di Buleleng bulan Juni 2007 juga begitu, kantor Kepala Desa Temukus, Mayong, Wanagiri dan Dencarik dibakar. Apa sih salahnya kantor itu? Dimana sih Hukum Karma yang sering anda ceramahkan. Banyak orang berbicara tentang ajeg Bali, Bali pulau Dewata, orang Bali ramah-tamah, tetapi perilaku kita lain sekali. Bila betul mau mengajegkan Pulau Dewata maka perilaku kita seharusnya melestarikan kebudayaan para Dewa yaitu saling memuliakan satu dengan yang lainnya. Jika belum bisa menampilkan kebudayaan para Dewa, minimal kebudayaan masyarakat manusia yaitu saling mencintai dengan sesama teman. Yang kalah Pilkada haruslah mau menerima kekalahan dengan pikiran jernih. Tetapi nyatanya kita telah mengusung kebudayaan masyarakat Raksasa yaitu saling menyalahkan dan saling mengutuk yang disertai dengan perbuatan anarkis. Mungkin saja hal ini sebagai hasil dari ulah kita mengelu elukan “ogoh-ogoh Raksasa” setiap hari “pangerupukan” sehingga secara tidak kita sadari kebengisan Raksasa direkam oleh otak kita. Ditinjau dari ajaran filsafat “samskara” mestinya kita mengnsung ogoh-ogoh para Dewa pada waktu hari “pangerupukan” agar sifat-sifat para Dewa itu direkam oleh alam bawah sadar kita untuk selanjutnya mempengaruhi perilaku kita menjadi seperti para dewa yang saling memuliakan dalam jalan dharma.

Orang yang “ngatibangbung” dapat dilihat dari perilakunya yang suka mengkhayal. Kepingin hidup enak tanpa susah-susah bekerja. Berbagai bentuk khayalan yang terjadi di masyarakat antara lain sebagai berikut:

  1. Bagi yang mendapat tanah warisan dari orang tuanya, setelah orang tuanya meninggal, dengan mudah dia menjual tanah itu tanpa ada rasa takut terhadap almarhum. Uang hasil penjualan tanah itu didepositokan di salah satu Bank. Bunga uang yang diterimanya setiap bulan dipakai untuk menuruti kemanjaannya. Tidak disadarinya bahwa depositonya dimakan oleh laju inflasi, seperti pohon besar dimakan oleh rayap sedikit demi sedikit. Dengan demikian jumlah bunga uang yang diterima setiap bulan nilai tukarnya menyusut sehingga tidak bisa lagi mencukupi untuk biaya bermanja-manja. Agar hidup santai bisa berlanjut maka mulailah mencairkan deposito tersebut. Setiap ada keperluan yang memerlukan biaya diatasi dengan uang deposito. Singkat cerita habislah depositonya sehingga tamatlah riwayat hidup bersantai diganti dengan babak baru yaitu hidup maburuh.
  2. Penjual tanah yang lainnya lebih mahir cara berhitungnya yaitu agar mendapat bunga lebih banyak maka dia bekerja sama dengan rentenir untuk membungakan uangnya 15% per bulan. Rentenir mendapat komisi 5% dan pemilik uang l0%. Pada awalnya rentenir taat menyetor hasil bunga uang sehingga pemilik merasa senang. Setelah rentenir lancar nyetor bunga uang 3 – 4 kali, selanjutnya mogok untuk selamanya. Dengan demikian khayalan untuk mendapatkan bunga uang banyak dengan mudah, malah mendatangkan petaka kemiskinan secara mendadak. Mengapa para penjual tanah warisan akhirnya jatuh miskin? Karena mereka kena kutukan, sebab pada waktu mereka lahir tidak membawa tanah, tetapi malah seenaknya menjual dan menghamburkannya. Mereka tidak mengerti dengan filosofi dharma yang faktanya sekarang pun diakui oleh lembaga internasional, yaitu ISO (International Standar Organization) yang tertuang dalam ISO 14001 yang membahas masalah lingkungan dengan mengatakan filosofi bahwa bumi ini sebenarnya bukan warisan orang tua kita, tetapi titipan dari anak cucu dan generasi penerus kita. Orang Hindu yang tahu reinkarnasi di mana generasi sebelumnya mungkin antre untuk lahir kembali memanfaatkan tanah tersebut, kenapa tidak bisa menyadari hal ini? Itulah sebabnya mereka dikutuk agar hidupnya berat seperti nasib hewan beban. Oleh karena itu kita harus hati-hati mengemban warisan leluhur. Bila kita bisa melipatgandakan warisan orang tua, itu namanya kita anak yang baik. Bila kita menghabiskan warisan orang tua, itu namanya kita anak yang durhaka.
  3. Mereka yang kaum Ningrat, mengkhayal di bidang prestise keningratannya. Setiap akan mengadakan upacara keagamaan memaksakan diri mengadakan upacara yang meriah dengan biaya yang besar. Caranya adalah dengan menjual tanah warisan. Karena sering mengadakan upacara yang meriah akhirnya semua tanahnya habis terjual demi prestise kebangsawanannya. Akhirnya jadilah mereka bangsawan yang lacur, seperti kembang, kelihatannya saja indah tetapi tidak ada bau harumnya.
  4. Bagi yang miskin, bentuk khayalannya berbeda. Mereka berharap mendapat uang banyak dengan tidak bekerja yaitu melalui perjudian. Ada yang maceki, main bola adil, main ding-dong, membeli kupon togel dan berbagai perjudian lainnya. Penjudi togel yang sangat mengharapkan kemenangan, ada yang mohon nomor di tempat yang dianggapnya angker seperti di dasar jurang. Pada tengah malam dia duduk di situ memejamkan mata memegang seikat dupa yang menyala dan berkomat-kamit memohon nomor. Selang 15 menit kemudian datanglah ular besar, lalu ular itu bengong di depan mereka memperhatikan dupa yang menyala karena secara alamiah ular memang menyukai cahaya di malam hari. Setelah si pemohon membuka mata, alangkah terkejutnya melihat ular besar di depan mereka duduk, kontan saja mereka lari tunggang-langgang. Demikianlah tidak akan pernah ada kebaikan yang didapatkan dari berjudi. Yang ada hanya pemiskinan seperti yang dicontohkan dalam kisah Panca pandawa dalam Mahabharata.
  5. Lalu yang lainnya rajin mengunjungi cafe remang-remang, di antara mereka ada yang memelihara WIL di salah satu rumah kos-kosan. Setiap bulan dia harus mengeluarkan biaya tidak kecil untuk pesangon WIL-nya sehingga kekayaannya terus menyusut. Di samping itu percekcokan dengan istri semakin parah dan anak-anak pun menjadi terlantar.
  6. Ada lagi kelompok yang pesta minuman keras, setelah mabuk melakukan keonaran bahkan penganiayaan dan pembunuhan. Ada juga pesta sabu-sabu dan berbagai jenis narkoba. Setelah ketagihan tidak segan-segan menjual apa saja demi narkoba sehingga semua harta miliknya terjual habis. Maksudnya menikmati Sorga, tetapi akhirnya mendapatkan Neraka karena tersiksa oleh virus HIV AIDS. Setelah mati pun Krama Banjar takut menjenguk karena ketakutannya akan virus HIV yang terkenal mematikan secara berlahan itu.
  7. Ada yang terpaksa mencuri benda-benda sakral. Hukum Karma pala dilupakannya.
  8. Ada yang “ngulah pati”, bunuh diri dengan gantung diri atau minum racun, karena mengkhayalkan bebas dari penderitaan atau kesusahan bila sudah mati.

Semua bentuk hayalah di atas adalah akibat dari beragama di kulit, sehingga didalamnya kosong melompong. Bila didalamnya berisi susila, filsafat dan ketentuan dharmasastra, maka berbagai bentuk khayalan seperti itu dapat dihindari. Upacara itu memang baik karena memberi keuntungan dan hiburan bagi orang banyak, tetapi jika tidak ditindaklanjuti dengan pelaksanaan, susila dan filsafat, maka upacara itu akan melahirkan perilaku seperti tersebut di atas yang menyebabkan orangnya jatuh miskin. Itulah makanya angka kemiskinan di Bali terus meningkat. Para Rsi mengatakan bahwa didalam badan manusia dihuni oleh 3 karakter, yaitu: satvam, rajas dan tamas. Upacara yang meriah, memupuk sifat-sifat rajasik dan tamasik karena sering kali kemewahan itu hanya untuk pemenuhan nafsu makan, dan mengejar prestise semata. Lebih dari 60% dana upacara mewah biasanya dipakai untuk membiayai konsumsi yang terdiri dari daging, kopi dan rokok. Konsumsi jenis itu memperkuat Ego dan memperlemah budhi sehingga badan manusia sekarang lebih banyak dikendalikan oleh sifat-sifat rajas dan tamas yang memicu karakter keraksasaan. Ciri-cirinya, relatip banyak orang yang mementingkan diri sendiri, gemar minum alkohol, bahkan narkoba, selingkuh, serakah, licik, cepat marah, sering menyalahkan orang lain, menghakimi orang lain dan sebagainya yang memicu perselisihan di sana-sini. Bila latihan meditasi kita belum tembus, akan merasa tersinggung membaca tulisan ini. Silahkan tersinggung. Bagi yang marah tolonglah sudi memberi penjelasan tentang penyebab orang berbuat anarkis membakar sarana umum seperti perkantoran milik rakyat yang tidak berdosa. Apa sih untungnya membakar kantor milik rakyat? Orang bar-bar yang berani membakar rumah tak bersalah apalagi perkantoran milik rakyat, setelah buah karmanya muncul di masa mendatang barulah tahu rasa. Seandainya si pemilik rumah memang bersalah, pemilik rumahlah semestinya diproses menurut hukum dan jangan membakar rumah orang atau kantor yang tidak berdosa.

Catur Yuga

Dalam kitab suci Veda tercantum istilah Catur Yuga, yaitu terdiri dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Setiap Yuga hukumnya berbeda dan kitab sastra sebagai pedoman pelaksanaan hukumnya juga berbeda. Manu Dharmasastra adalah untuk Satya Yugu, Gautama Dharmasastra untuk Treta Yuga, Likhita Dharmasastra untuk Dwapara Yuga, Sedangkan untuk Kali Yuga kitab sastranya adalah Parasara Dharmasastra. Menurut kitab ini bahwa pemujaan kepada Hyang Widhi yang paling baik pada Jaman Kali adalah melalui “berderma”yang dilandasi oleh ketulusan hati. Mengapa melalui berderma?’ sebab pada jaman sekarang banyak sekali melarat melarat yang memerlukan bantuan. Sekecil apapun bantuan yang kita berikan kepada mereka akan mendapat tanggapan yang berlipat ganda dari Hyang Widhi. Meyadnya seperti membuat upacara super megah tidak keliru, tetapi kalau semangat yadnya itu tidak tepat sasaran bagaimana? Ambil lah contoh jika pada saat yadnya besar dilakukan datang seorang pengemis atau orang yang memang benar-benar memerlukan bantuan, tetapi malahan orang tersebut tidak digubris dan malahan diusir. Tidakkah sang Yajamana menyadari bahwa dalam badan setiap makhluk hidup bersemayam Hyang Widhi sendiri sebagai Paramatma yang selalu ada menemani setiap jiva yang mengembara yang juga patut dimuliakan. Upacara yang meriah tetapi penuh dengan kepura-puraan, ibarat perlombaan membuat “banten”, setelah “banten” itu selesai dinilai oleh tim juri lalu segera dibawa pulang untuk dipesta. Mempersembahkan “banten” yang banyak di Jaman Kali ibarat menanam padi pada tanah kering di musim kemarau, kemungkinan besarakan gagal panen, sebab cara berupa cara seperti itu cocoknya pada jaman Dwapara Yuga karena dukungan alam pada waktu itu berlimpah dan tidak ada orang melarat. Sedangkan berderma kepada orang yang melarat di jaman Kali adalah ibarat menanam padi pada sawah yang cukup air dan sesuai iklim sehingga pasti akan menghasilkan panen raya di kemudian hari. Upacara meriah yang kita lakukan sekarang dimaksudkan agar menghasilkan panen raya berupa kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian.Tetapi nyatanya gagal panen karena tidak tepat musimnya. Buktinya angka kemiskinan terus meningkat, korban minuman keras, korban narkoba, HIV/AIDS, putus sekolah, perselingkuhan, persengketaan, bunuh diri dan sejenisnya juga terus meningkat. Itulah bukti nyata yang kita alami bersama, padahal maksud daripada upacara itu adalah untuk mensejahterakan umat. Upacara keagamaan adalah baik dan harus kita lakukan sebagai pagar pengaman, tetapi tidak harus meriah bila dananya tidak cukup. Hendaklah berpikir yang realistis sewajarnya, jangan terus berpura-pura (ngatibangbung). Sekali lagi saya ulangi bahwa di jaman sekarang korban suci berupa derma kepada sesama makhluk hidup dan berjapa atau mengucapkan nama suci Tuhan secara berulang-ulang adalah ibarat bercocok tanam tepat pada musimnya dan pasti akan menghasilkan panen raya berupa kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian. Begitulah petunjuk dharmasastra dan wejangan para Suci. Bila petunjuk ini tidak digugu dan dilaksanakan akan menyebabkan Agama itu menjadi beban yang menyusahkan. Tujuan Agama adalah untuk menghapus kesusahan, kesedihan, kemelaratan, tetapi malah sebaliknya menjadi beban yang menyusahkan karena cara kita melaksanakannya tidak mengindahkan petunjuk Dharmasastra dan petunjuk para Suci yang berlaku pada jaman Kali. Hukum pada jaman Kerajaan berbeda dengan Hukum pada jaman kemerdekaan. Bila pada jarnan kemerdekaan kita masih mengikuti Hukum Kerajaan, tentu akan menimbulkan masalah yang menyusahkan. Begitu pula Hukum Jaman Dwapara Yuga, tidak cocok dipakai pada Kali Yuga ini.

Selamatkan Keluarga Masing-Masing

Dalam situasi dunia yang tidak menentu sekarang ini, dan situasi di masyarakat yang masih saja suka berhura-hura melalui upacara, pandai-pandailah menyelamatkan keluarga. Jangan hanyut di dalam cara-cara hidup yang mengkhayal. Taati petunjuk dharma sastra dan wejangan para Suci untuk melakoni kehidupan yang realistis, jika tidak ingin jatuh ke dasar jurang kemiskinan. Bila kita tidak ikut hidup mengkhayal seperti orang lain, risikonya akan dipergunjingkan oleh orang-orang tertentu yang belum pernah membaca filsafat Agama dan belum pernah mendapat pencerahan dari para Suci, walaupun demikian jangan grogi. Pan Lagas pada waktu masih melarat pernah tidak ngodalin selama 8 tahun atau 16 kali piodalan karena memang tidak punya apa-apa, tetapi bersyukur Pan Lagas tidak “kopongoran” karena Pan Lagas tahu bahwa para leluhur dan Hyang Widhi memang kasihan kepada orang-orang yang hidupnya melarat tetapi ada dalam jalan dharma. Pada tahun 1970, Pan Lagas pernah melakukan “pitri yadnya” dengan “Swasta Gni” untuk pertamakalinya di desanya karena memang tidak punya uang untuk ngaben yang meriah. Pada waktu itu Pan Lagas dihujat oleh beberapa orang yang tidak pernah membaca Yama Purwana Tattwa. Pan Lagas diam saja karena Pan Lagas percaya dengan sabda Sang Hyang Yama melalui kitab Yama Purwana Tattwa. Orang yang menghujat Pan Lagas kenyataannya tidak mampu memberi bantuan apa-apa bisanya hanya menghujat saja, buat apa mendengarkan hujatan orang yang tidak mengerti filsafat. Lain persoalannya jika mereka mampu mengantarkan roh I Kumpi (almarhum) ke Sorga dan rela berkorban uang untuk biaya ngaben, barulah patut kita turuti dan kita hormati. Orang-orang semacam itu kerjanya hanya menghujat saja dan tidak mau menolong orang yang sedang melarat.

Pada waktu keluarga Pan Lagas masih melarat, setiap ada odalan di Pura Desa, Ibu Pan Lagas tidak mampu membuat “banten” untuk dipersembahkan, oleh karena itu terpaksa kebaktian dilakukannya dengan sebuah canang sari yang dipajang di atas tembok panyengker sanggah. Dari situ mereka memuja dengan hati yang tulus. Ayah Pan Lagas adalah mantan Dalang. Dia mengajar Pan Lagas melakukan kebaktian dengan mengulang-ulang mantra “Dasa Aksara”. Kebaktian yang Pan Lagas lakukan hanya dengan berjapa “Dasa Aksara” setiap akan tidur. Hanya dengan kebaktian seperti itulah Hyang Widhi menjadi kasihan, lalu keluarga Pan Lagas diberikan jalan agar bisa keluar dari lingkaran kemelaratan. Karena itu janganlah kita “tandruh” (masa bodoh) dengan saudara kita yang masih melarat. Bantulah mereka seberapa pun kita mampu membantunya. Hati kita yang tulus menolong mereka bernilai mahal, masalah jumlah material yang kita berikan kepada mereka adalah nomor dua.

Keluar dari lingkaran jerat kemelaratan memang bukan main sulitnya. Oleh karena itu berhati-hatilah melakoni hidup jaman sekarang karena Hukum Rimba sedang merajalela di mana-mana. Orang yang bodoh menjadi makanan orang pandai, orang pandai menjadi mangsa orang licik dan orang licik dikalahkan oleh orang yang beruntung. Orang yang beruntung tidak memakan orang licik tetapi hanya mengalahkan saja. Artinya orang yang beruntung tidak bisa ditipu oleh orang yang licik. Orang yang pandai jaman sekarang sudah banyak sekali, tetapi di antara mereka yang pandai masih ada saja yang dapat ditipu oleh orang licik. Ada yang tertipu karena dijanjikan jabatan, atau dijanjikan ini dan itu. Orang pandai yang baru tamat kuliah dan masih pengangguran, dijanjikan akan mendapat pekerjaan di salah satu kantor atau dikirim ke luar Negeri dengan gaji yang tinggi sehingga dia mau menyerahkan uang puluhan juta kepada penipu yang licik. Begitulah Hukum Rimba tidak pandang bulu memakan mangsanya sehingga kita perlu waspada.

Untuk menjadi orang yang beruntung, tidak lain dan tidak bukan kita harus mendapat perlindungan dari Hyang Widhi. Untuk mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari Hyang Widhi ini, yang pertama kita harus mentaati hukum-hukum Widhi yang kita kenal dengan istilah dharma. Pujalah beliau dengan bhakti, sebarkan kasih sayang kepada setiap makhluk hidup dan hindari segala jenis dosa. Tidak akan ada yang bisa mencelakakan orang yang mentaati jalan Hyang Widhi, oleh karena itu tetaplah berada pada koridor-Nya.

Alkisah ada seorang pemuja Tuhan yang hidup melarat tetapi rajin melakukan pemujaan setiap hari dan bertingkah laku susila di masyarakat. Pada suatu saat dia melihat Widyadara sedang menuliskan nama-nama orang yang memiliki bakti. Pemuja itu ingin tahu apakah namanya tercantum pada daftar itu. Setelah semua nama dibacanya, ternyata namanya dia tidak tercantum di sana sehingga dia amat kecewa lalu terus berpikir dan sedikit protes di dalam hati kecilnya. Besoknya dia pergi ke tempat lainnya, dia menjumpai Widyadari yang sedang menulis nama pada daftar. Dia bertanya kepada Widyadari: “daftar apa yang anda buat?” “daftar nama orang-orang yang disayang oleh Hyang Widhi” jawab Widyadari. Lalu dia mencoba mengamati daftar itu, ternyata namanya tertulis di sana. Barulah dia akhirnya lega tetapi merasa berdosa sebab kemarin dia sedikit protes kepada Hyang Widhi karena namanya tidak ada tercantum pada daftar orang orang yang berbakti kepada Hyang Widhi. Begitulah, dari semua orang yang bakti masih dipilah lagi mereka yang kebaktiannya berpura-pura akan tertulis pada daftar orang bhakti. Memang bakti tetapi belum disayang oleh Hyang Widhi karena belum tulus dan benar-benar mengikuti ajaran dharma. Sedangkan orang yang melakukan kebaktian dengan tulus ditulis pada daftar orang-orang yang disayang oleh Hyang Widhi. Jadi, sama-sama bhakti tetapi ada yang belum disayang dan ada yang sudah disayang. Oleh karena itu, jangan pamer berpura-pura bhakti di depan orang ramai, lakukanlah kebaktian dengan bersungguh-sungguh agar nama kita tercantum pada daftar orang yang disayang oleh Hyang Widhi. Berbaktilah melalui jalan “berderma” dengan tulus ikhlas kepada orang yang menderita, walaupun tidak ada orang lain yang menyaksikannya kecuali orang yang dibantu, pahalanya akan disayang oleh Hyang Widhi sehingga nama kita akan ditulis oleh Widyadari pada daftar orang-orang yang disayang oleh Hyang Widhi. Jika Hyang Widhi sudah sayang kepada kita, maka kita menjadi orang yang beruntung. Beruntung secara material dan spiritual.

Melakukan “dharma-mama” artinya melakukan kewajiban sebaik mungkin Diana pun kita bertugas sebab tugas itu sendiri adalah manifestasi Hyang Widhi (duty is GOD). Lakukan kewajiban sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Jika kita membuat “banten” untuk dipersembahkan,  maka hendaknya kerjakan serapi dan seindah mungkin dengan sumber daya yang ada. Bukan membuat Banten mewah dengan membeli, apa lagi dibeli dari hasil ngutang. Jika kewajiban-kewajiban terlaksana dengan baik maka Hyang Widhi pun senang dan akhirnya Beliau sayang pada kita. Jika Beliau sudah sayang, maka masyarakat juga senang menerima hasil karya kita. Bila masyarakat senang maka rejeki akan berlimpah sepanjang masa sebab apa pun yang kita perlukan ada ditangan masyarakat. Oleh karenanya baik-baiklah bermasyarakat, jangan sombong dan jangan kikir.

Kita juga harus berprestasi di bidang tugas yang diemban. Target dan jadwal harus dicapai dengan sebaik mungkin. Memang itu tidak mudah tetapi jika ada kesungguhan hati untuk berprestasi, pasti semuanya bisa terwujud.

Tekun belajar ilmu pengetahuan dan berlatih berbagai keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat juga harus dilakukan. Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini amat pesat meloncat-loncat setiap saat. Kita harus cakap dalam beberapa bidang ilmu dan terampil dalam tugas karena sekarang ini tidak bisa kita bekerja hanya dengan satu ilmu saja. Kita harus profesional pada bidang kita masing-masing. Ingat semboyan “beloge ngaba lacur, ngawinang sangsara masih iya” yang bodoh akan dimangsa oleh yang pintar.

Kita juga harus disiplin dalam urusan apa saja, tanpa berdisiplin akan menimbulkan banyak rintangan dan bahkan bisa gagal. Orang yang tidak berdisiplin akan tersisih, sebab masyarakat tidak suka dengan orang yang tidak disiplin. Misalnya kita tidak disiplin terhadap jam kerja sehingga sering terlambat atau sering minta ijin untuk berupacara ini dan upacara itu, maka kita akan dikeluarkan atau di PHK. Tidak disiplin terhadap janji, maka kita tidak akan pendapat kepercayaan. Disiplin untuk diri sendiri pun penting. Umpama setiap baru bangun pagi sebaiknya minum air bersih 2 – 4 gelas untuk menjaga kesehatan, bila baru bangun pagi sudah minum kopi sambil merokok, maka kesehatan kita akan terganggu. Kesehatan yang terganggu akan menurunkan prestasi kerja. Prestasi kerja yang menurun menyebabkan rejeki menurun. Rejeki yang menurun menyenbabkan susah, dari susah menyebabkan sakit. Jika sering sakit akan menyebabkan kemiskinan, karena pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran.

Kata juga harus berani bersakit-sakit dahulu, belajar, berlatih, bekerja keras untuk bersenang-senang kemudian. Berani meninggalkan sifat sifat buruk yang merugikan seperti kebiasaan merokok, minum minuman keras, narkoba, berjudi, selingkuh, bermalas-malasan dan sejenisnya. Dalam hal berupacara harus berani menyesuaikan dengan kemampuan yang ada walaupun hanya dengan Banten sederhana atau malah tanpa Banten sama sekali. Jangan memaksakan diri dengan jalan menjual tanah apalagi berhutang agar tidak menjadi beban yang memberatkan. Dalam hal ini kita harus berani dipergunjingkan oleh orang orang dungu yang tidak tahu filsafat tetapi mereka lancang menghakimi orang lain. Biar anjing menggonggong kapilah tetap berlalu. Jangan tunduk dengan paham orang orang yang tidak tahu fisafat. Ikuti petunjuk dharmasastra dan wejangan para Suci.

Upacara tidak harus meriah. Bahkan dalam banyak sastra Veda, hanya dengan berjapa atau mengucapkan nama suci Tuhan saja Hyang Widhi sudah menerima Bhakti kita. Tetapi kenapa jarang orang yang menerapkannya dan memilih melakukan upacara besar-besar? Itu semua karena mereka kebanyakan masih suka pesta, hura-hura dan tidak mau mengindahkan petunjuk Hyang Widhi Yang Maha Bijaksana. Beliau amat bijaksana terhadap kondisi manusia jaman sekarang yang tidak tahan disuruh melakukan kebaktian dengan disiplin yang berat-berat dan juga upacara yang besar-besar. Hendaknyalah setiap kegiatan keagamaan dilakukan sesuai dengan desa, kala dan patranya. Bagaimana jadinya orang miskin yang kais pagi makan pagi jika diajak bergotong royong selama 40 hari dan dikenai iyuran jutaan rupiah? Bila 3 hari saja dia tidak dapat “maburuh” berarti dia harus berhutang untuk memberi anak-anaknya makan. Itulah makanya kita harus ringan tangan menolong orang yang melarat, setidaknya dengan tidak membebani mereka lagi. Apa lagi jika porsi dana untuk upacara sebaiknya diatur sedemikian rupa agar ada sebagian disalurkan untuk orang melarat, jangan 100% dipakai “banten”. Di jaman Kali sekarang ini kebaktian seperti itulah yang utama, begitulah petunjuk dari Bhagawan Parasara. Kita harus ingat dengan janji kepada Hyang Prajapati pada waktu kita diberi ijin menjelma ke dunia ini. Kita berjanji akan sanggup melaksanakan 3 DA yaitu Danam atau dermawan, Dama atau mampu menasehati diri sendiri dan Dayadwam atau kasih sayang kepada semua makhluk hidup. Apabila kita kikir terhadap saudara kita yang hidupnya melarat, itu berarti kita ingkar janji dan akan diganjar oleh Beliau yaitu harta benda kita akan diambil paksa melalui tangan penipu, rampok atau melalui penyakit yang sukar disembuhkan sehingga kita mau tidak mau harus mengeluarkan uang untuk membeli obat yang mahal-mahal dan membaya rdokter juga mahal. Bila sudah ditimpa oleh kejadian seperti itu belum juga kapok, maka yang terakhir melalui api untuk membakar habis segala harta benda kita. Oleh karena itu, jangan main kucing-kucingan dengan Hyang Prajapati, sebab Beliau ada Dimana-mana untuk mengawasi perbuatan semua mahluk hidup. Kalau kita kucing-kucingan dengan Polisi masih mungkin untuk meloloskan diri seperti kasus para koruptor yang bebas di Pengadilan asal daksinanya memadai.

Menurut wejangan Wiku Bang Bungalan bahwa kebaktian dengan “upakara/banten” adalah kebaktian paling rendah. Sebanyak dan semeriah apapun “banten” yang dipersembahkan tetap nilainya paling rendah. Kebaktian dengan melaksanakan kesusilaan dan dermawan di masyarakat adalah tergolong madya. Tuhan dan para Suci mengatakan bahwa kebaktian dengan selalu mengenang Hyang Widhi sambil berjapa adalah paling utama. Semakin sering kita berjapa berarti semakin sering pula ingat kepada Hyang Widhi. Kalau kita sudah selalu bersama Hyang Widhi maka yang tidak mungkin akan menjadi serba mungkin, sebab Beliau Maha Kuasa dan Maha Pemurah untuk menjadikan semuanya serba mungkin dan memberi yang terbaik buat kita masing-masing.

 Om Shanti Shanti Shanti Om

Disadur dengan sedikit perubahan dari tulisan Jero Mangku Wayan Suwena

Translate »