Masih ingat kasus Balicon, sebuah modus penipuan berkedok Multi Level Marketing yang menjalar hebat di Bali? Penipuan bekedok bisnis ini telah memakan banyak korban, tidak terkecuali penekun spiritual di beberapa ashram di Bali yang mengaku telah kehilangan uang ratusan juta dan bahkan ada yang mengaku sampai milyaran rupiah. Bisnis Balicon sangat sukses menyebar di kalangan orang-orang ashram terutama sekali karena adanya faktor kedekatan emosional komunitas yang membuat rasa “percaya” menggurita begitu kuatnya. Atau mungkin karena ternyata orang ashram yang terbuai bisnis hebat tanpa usaha keras Balicon tidak se-spirituil penampilannya? Whatever-lah, namun artikel ini ditulis bukan untuk membahas Balicon yang memang merupakan penipuan biasa yang secara kebetulan saja berhasil menyusup dan mengakar di sebuah komunitas spiritual.
Kasus bisnis dalam spiritual yang paling dikenal sejarah mungkin adalah kasus penjualan surat pengampunan dosa oleh gereja Katolik yang menyebabkan munculnya gerakan Protestan. Institusi gereja pada waktu itu menyebarkan dogma yang mengajarkan bahwa dosa-dosa setiap orang bisa ditebus dengan menyerahkan sejumlah uang kepada pihak gereja sehingga menjamin mereka yang membeli surat pengampunan dosa akan diselamatkan dan mencapai surga. Meski faktanya dana hasil penjualan surat pengampunan dosa ini disalahgunakan oleh pihak gereja untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Kasus serupa seperti yang terjadi di gereja Katolik ternyata baru-baru ini juga gempar dalam Islam. Dikabarkan bahwa gerakan Negara Islam Indonesia atau yang biasa disingkat NII juga melakukan aksi serupa. Setiap anggota yang berhasil direkrut diwajibkan untuk membayar sejumlah uang kepada organisasi secara periodik. Setoran uang tersebut kabarnya dikatakan sebagai cicilan kapling tanah di sorga. Meski mencicil kapling sorga terdengar sangat irrasional, namun tetap saja ada orang yang sangat mempercayai hal tersebut sampai rela menyerahkan seluruh harta bendanya demi keyakinannya tersebut.
Dalam Hindu sendiri tampaknya kasus-kasus mirip seperti Kristen dan Islam juga beberapa kali terjadi. Mulai dari kasus janji-janji agar bisa menjadi Tuhan, sampai pada kasus-kasus menjadi penekun spiritual yang sebenarnya tujuan utamanya adalah bisnis semata. Cukup banyak kejadian menggelikan atas nama Hindu yang digunakan sebagai sarana mengais rezeki oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebut saja misalnya seperti kasus mereka yang berpenampilan nyentrik seperti seorang suci atau Swamiji membuka Center pelatihan Yoga di USA. Di Center tersebut, Swamiji tersebut mengajarkan pada murid-muridnya bahwa jika mereka tekun berguru, melayani dan tentu saja menyerahkan sejumlah uang kepada Swamiji tersebut, maka mereka bisa menjadi Tuhan jika Yoga mereka sempurna nanti. Dengan uang dan ajaran yoga dari orang yang mengharapkan imbalan material dapat mengantarkan orang menjadi Tuhan? Bullshit….
Inilah Kali Yuga, jaman yang sangat materialis dan penuh dengan kemunafikan. Manusia sudah tidak dapat membedakan lagi mana kepentingan ekonomi dan mana kepentingan spiritual. Seseorang menjadi “terlihat” sangat spiritualis hanya karena sedang kekusahan akibat kesulitan ekonomi, dan di sisi lain orang sangat suka memanfaatkan hal spiritual untuk tujuan-tujuan ekonomi. Sehingga tidaklah salah jika Bhagavad Gita 7.16 mengatakan “catur vida bhujante mam janah sukrtino ‘rjuna arto jijnasur artharthi jnani ca bharatharsabha, O yang paling baik di antara para Bharata, empat jenis orang saleh mulai ber-bhakti kepada-Ku; orang yang berduka-cita, orang yang menginginkan kekayaan, orang yang ingin tahu, dan orang yang mencari pengetahuan tentang Yang Mutlak. Sayangnya, dari seluruh pencari Tuhan di jaman Kali ini, mungkin tidak lebih dari sepersepuluhnya yang benar-benar menjalani kehidupan spiritual karena memang didorong oleh bhakti yang tulus ikhlas. Ada yang datang ke ashram dan pusat-pusat pengkajian spiritual lainnya hanya karena ingin mencari jodoh dan relasi bisnis, ada yang datang karena ingin mendapat keuntungan dari berjualan buku dan pernak-pernik atau ada yang datang karena memang otaknya sedang buntu akibat dirongrong berbagai masalah.
Umat Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya sepertinya juga sedang didera oleh permasalahan ekonomi versus spiritual ini. Lihatlah bagaimana saat ini padagang asongan penjual banten menjamur di setiap kota dan desa di Bali. Lihatlah betapa mahalnya para pemimpin spiritual kita menjual bantennya kepada umatnya yang akan melaksanakan yajna. Permasalahannya kenapa penjual banten yang saat ini bahkan didominasi oleh umat non-Hindu bersedia berjualan banten yang notabene disebut oleh mereka sebagai “sesajen para kafir”? Kenapa para pedanda, pemangku yang adalah pemimpin spiritual kita harus menghargai banten dan waktu mereka dengan tarif tertentu? Sejujurnya semua itu tidak murni salah mereka, tetapi semuanya berawal dari kita sendiri selaku umatnya.
Saat ini kita memang sedang hidup dalam Kali Yuga, jaman kegelapan yang dianalogikan seperti detik-detik tenggelamnya matahari spiritual. Namun demikian sebagai makhluk yang berbudi pekerti bukan berarti kita harus ikut larut dalam kegelapan. Kita masih bisa menyalakan lentera untuk menerangi diri kita sendiri. Syukur-syukur jika kita juga bisa menyalakan api unggun dan bahkan membangun power grid yang dapat menerangi semua orang bukan? Itulah fungsi agama dan kitab suci Veda yang telah diwahyukan kepada kita 5000 tahun yang lalu.
Masalah sarana yajna yang diperjualbelikan sebenarnya berawal dari kekolotan kita sendiri. Kita lupa bahwa saat ini kita sedang hidup dalam masyarakat industri, tetapi masih mempertahankan budaya agraris. Dahulu saat leluhur kita hidup dalam kehidupan agraris, mereka membagi kehidupan mereka menjadi beberapa musim, setidaknya dalam musim bercocok tanam dan musim panen. Di antara musim bercocok tanam dan musim panen tersebut terdapat musim antara yang berjarak sekitar 4-6 bulan. Pada saat musim bercocok tanam dan musim panen mereka benar-benar disibukkan dengan sawah dan ladangnya, namun pada musim antara, mereka memiliki waktu luang yang sangat banyak untuk melakukan berbagai kegiatan lain selain ke sawah dan ke ladang. Karena itu tidaklah mengherankan jika pada masa itu mereka mewujudkan sikap bhakti mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai kegiatan budaya. Mereka dapat menghabiskan waktu berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk melaksanakan upacara besar secara bergotong-royong di pura-pura. Mereka menyalurkan kreativitas seni mereka sebagai buah dari rasa bhakti dalam setiap lekukan dan ornamen indah dalam bentuk bebantenan. Mereka juga sangat menikmati menyalurkan kecintaan mereka kepada Tuhan melalui seni lukis, ukiran dan juga berbagai bentuk kesenian di tempat-tempat suci. Mereka rela melakukan itu semua tanpa menuntut harus dibayar karena mereka memang memiliki banyak waktu dan tenaga. Lumbung padi mereka sudah terisi penuh pasca panen, kebutuhan lauk-pauk serta tuntutan kehidupan juga tidak membebani mereka. Di malam hari, mereka juga memiliki banyak waktu senggang untuk berdiskusi masalah Tuhan melalui media cerita “satwa”, mempelajari kesenian wayang, geguritan, tarian, tabuh. Kondisi ini membuat mereka sangat spiritualis meski tanpa digodok dengan pemahaman pelajaran agama yang kita terima saat ini.
Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? Saat ini kita hidup di jaman yang dipicu dengan waktu. Sebagian besar dari kita juga tercipta sebagai “pasukan buruh” yang waktunya terpasung oleh aturan-peraturan atasan. Dari senin sampai jumat, dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore kita terikat pada kewajiban ngantor. Bahkan beberapa diantara kita juga harus masuk di hari Sabtu Minggu atau pada malam hari. Dunia industri menuntut kita untuk kerja dan kerja tanpa mengenal batasan waktu. Dunia industri menuntut kita aktif 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 4 minggu sebulan dan 12 bulan setahun. Beberapa di antara kita beruntung dapat bebas dari jeratan sistem industrialisasi yang sangat menyita waktu ini karena sukses mencapai kebebasan finansial, beberapa yang lainnya juga beruntung karena masih ada dalam tatanan masyarakat agraris yang tidak lekang jaman. Namun sayangnya sebagian besar dari kita tidak mampu lepas dari jeratan perangkap ini. Kita dihadapkan pada kebutuhan pemenuhan kehidupan material, namun di satu sisi kita haus masalah spiritual. Jika kita mengabaikan kewajiban “meburuh”, maka bukannya tidak mungkin kita kehilangan mata pencaharian sehingga akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan juga tidak dapat melakukan kewajiban spiritual. Kesibukan seperti ini dewasa ini mendorong sebagian besar umat Hindu melakukan bhakti secara instant. Mereka membeli canang instant dari pedagang kaki lima, melakukan yajna instant dengan membeli bebantenan dari para sulinggih. Untungnya tidak ada yang menginginkan sorga atau moksa secara instant dengan kolusi ya… 😀
Apakah sikap instant dengan membeli bebantenan sudah tepat menurut sastra? Hakekat dari bebantenan adalah perwujudan bhakti yang terbentuk melalui proses, jadi bukan sekedar hasil akhir. Leluhur kita membuat banten dengan penuh kesadaran yang dimulai dari niat mereka yang tulus. Mereka mempersiapkan diri melalui penyucian diri dan kerja keras dalam mencari bahan-bahan. Pada saat pembuatannya pun mereka mencurahkan semua cinta kasih bhakti mereka kepada Tuhan dengan berkonsentrasi pada bebantenan yang mereka buat. Jadi singkat kata mereka tidak hanya menjadikan banten sebagai “objek seserahan” yang bisa “menyogok ida betara” di pura. Banten benar-benar dijadikan saran meditasi perwujudan bhakti yang benar-benar dihayati. Sekarang coba kita lihat kebiasaan baru kita membeli banten. Saya tidak berani mengatakan ini keliru, tetapi saya harus mengatakan ini kurang tepat. Bayangkan bagaimana proses pembuatan banten yang kita beli dipinggir jalan. Apakah sudah mengikuti kaedah pembuatan banten yang benar? Benarkah pembuatnya membuat banten tersebut dalam kondisi fisik dan psikis yang suci? Sudahkan bahan-bahan banten tersebut terbebas dari kondisi “leteh”? Tidak ada yang berani menjamin, apa lagi penjual dan pembuat banten tersebut bukan umat Hindu. Dari pada harus membeli banten yang tidak jelas asal-usulnya tersebut, alangkah baiknya kalau uang tersebut langsung kita masukkan ke donation box di pura. Uang tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai dana pembangunan pura atau pendidikan generasi muda. Jadi tidak harus berakhir sebagai sampah.
Lalu bagaimana dengan membeli banten dari sulinggih? Bukankah banten tersebut lebih terjamin kesuciannya dari pada penjual banten pinggir jalan yang sudah didominasi non-Hindu? Membeli banten dari sulinggih mungkin lebih baik, tetapi jangan menjadikan diri anda sebagai orang yang ikut menjerat sulinggih kita ke kasus ekonomisasi spiritual. Seorang sulinggih tidak seharusnya berbisnis demi menghidupi keluarganya. Maraknya bisnis yang dilakukan sulinggih dengan mematok harga banten dan jumlah sesari dalam setiap upacara berakar dari kesalahan kita sebagai sisya-nya. Harusnya kita sadar bahwa sulinggih kita juga memerlukan dukungan material untuk memelihara badan materialnya, menyekolahkan anak-anaknya dan menghidupi keluarganya. Pada jaman dahulu disaat pendidikan tradisional gurukula tidak berkompetisi dengan sistem pendidikan modern, kita yang saat ini disebut sebagai “sisya” sekolah pada mereka para sulinggih yang kita sebut “surya” atau “grya”. Anak-anak para sulinggih kita juga bersekolah di sana. Saat itu para sisya rutin membantu kebutuhan sulinggihnya dengan menyetorkan sebagian hasil pertaniannya ke grya. Sehingga dengan hubungan timbal-balik seperti itu kewajiban para sulinggih benar-benar terjaga dan mereka hanya fokus pada masalah pengajaran spiritual pada sisya-nya. Demikian juga sisyanya mendapatkan pelayanan spiritual dari sulinggihnya dengan baik. Namun bagaimana dengan sekarang? Siapa yang membiayai sekolah anak-anak sulinggih kita? Siapa yang membiayai kebutuhan sandang, papan dan pangan keluarganya? Masihkan kita memiliki cukup waktu membawakan hasil panen kita ke grya setiap habis panen? Apakah kita memiliki kesadaran membangun rumah-rumah sulinggih kita yang sudah reot? Pedulikan kita pada pakaian para sulinggih kita yang lusuh? Jadi pada dasarnya terdapat korelasi timbal balik yang sangat kuat antara laku spiritual dan motif ekonomi dibalik penjualan banten yang merebak dewasa ini. Berbalik ke sistem masa lalu demi mengembalikan hubungan sisya dan surya di sini tentunya sudah tidak mungkin karena tuntutan jaman sudah berubah. Karena itu kita harus membuat terobosan baru sehingga tidak terjadi campur aduk antara masalah spiritual dan masalah ekonomi dalam kehidupan beryajna. Salah satunya yang dapat dilakukan mungkin dengan meniru sistem yang sudah diterapkan umat Kristen dengan akhir berdana punia melalui suatu lembaga umat untuk selanjutnya disalurkan untuk “menggaji” para sulinggih kita setiap bulannya. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi alasan para sulinggih kita mematok uang sesari dan melakukan jual beli banten.
Kalau banten tidak diperjualbelikan sementara umatnya sibuk, lalu dapat benten dari mana? Tidak masalah, bukankah Bhagavad Gita 9.26 menyebutkan; “patram puspam palam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah”. Tuhan menerima persembahan dalam bentuk paling sederhana sekalipun yaitu dalam bentuk daun, bunga, buah atau air asalkan dipersembahkan dalam cinta kasih bhakti yang tulus. Jadi kalaupun tidak sempat membuat bebantenan yang mewah, dengan cita rasa seni yang tinggi sebagaimana bebantenan jaman dahulu, melainkan hanya dapat membuat bebantenan sederhana yang berupa gebogan buah-buahan asalkan diwujudkan dalam sikap bhakti maka persembahan tersebut akan jauh lebih berharga dari pada persembahan bebantenan lengkap dari hasil membeli.
Singkat kata proses ekonomisasi spiritual yang sudah mulai menjangkiti kita saat ini dapat kita stop saat ini juga jika kita mau mengambil sikap dari diri kita sendiri. Mari sesuaikan laku spiritual kita saat ini mengikuti perkembangan tuntutan jaman. Mari kembalikan esensi fundamental yajna sesuai dengan kaedah yang tertuang dalam sastra. Jangan mengumpat orang lain termasuk sulinggih kita yang berjualan banten sebelum kita sukses menyadarkan diri kita sendiri yang selama ini alfa pada kewajiban “Rsi Rna” yang harus kita lakukan.
Recent Comments