Tahun 2003 adalah tahun pertama saya menginjakkan kaki di puncak gunung, tepatnya di puncak gunung merapi. Pada saat itu bertepatan dengan 1 Suro, hari yang dikeramatkan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Meski 1 Suro yang dirayakan setiap tahun saat ini sudah mengalami pergeseran akibat modifikasi yang dilakukan oleh Sultan Agung dalam usahanya mengonversi masyarakat Jawa menjadi Islam, namun praktik yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat masih belum banyak berubah. Pada jaman Majapahit 1 Suro merupakan hari yang dijadikan momentum kontemplasi terhadap apa yang sudah dilakukan 1 tahun terakhir perencanaan terhadap apa yang akan dilakukan 1 tahun ke depan. Punggawa dan rakyat Majapahit umumnya melakukan kontemplasi dengan melakukan meditasi di puncak gunung. Pada tanggal 1 Suro, puncak Merapi tidak seperti yang saya bayangkan, sepi dan sangat indah untuk duduk sendiri melakukan kontemplasi. Pada 1 Suro, Puncak Merapi tidak ubahnya seperti sebuah pasar yang dipenuhi ratusan orang. Sebagian dari mereka yang didominasi oleh tetua, masih tampak melakukan meditasi. Tetapi sebagian lagi yang didominasi oleh anak-anak muda merupakan kelompok mapala, masyarakat pencinta alam yang menjadikan ajang pendaki gunung sebagai sebuah kesenangan.

Pendakian memang sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Untuk mendaki sebuah gunung, kita harus memulai setapak demi setapak. Ada kalanya kita harus berhenti karena kelelahan. Iklim gunung yang tidak menentu juga sering kali mengganggu kita dengan guyuran hujan lebat yang dalam hitungan menit diikuti dengan teriknya sinar matahari. Jika kurang berhati-hati, mungkin kita akan didera dengan cedera yang membuat kita harus memutuskan untuk tetap naik dengan menahan rasa sakit atau harus rela turun tanpa mencapai tujuan. Belum lagi dengan suhu yang semakin ke puncak menjadi semakin dingin. Semua itu harus dilalui dengan keyakinan cepat atau lambat akan sampai puncak hanya untuk satu alasan, menikmati keindahan alam yang sangat mempesona. Terlebih jika kita berhasil mencapai puncak pada saat yang tepat, yaitu saat matahari terbit atau pada saat matahari tenggelam yang hanya dapat kita nikmati dalam hitungan menit. Demikian juga kehidupan ini, dalam diri kita tertanam sebuah cita-cita. Ada yang mengimajinasikan cita-citanya tersebut dalam bentuk profesi tertentu, dan ada juga yang tampak abstrak. Namun apa pun itu, kita semua berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut dengan mengarungi kehidupan selangkah demi selangkah. Ada kalanya kita kehilangan langkah, mengalami kegagalan-kegagalan kecil, dan kehilangan semangat. Namun ada kalanya kita sampai dengan kesuksesan-kesuksesan kecil mulai dari kelulusan, mendapat penghargaan dan sejenisnya. Dari kesuksesan-kesuksesan kecil tersebut akhirnya kita berusaha menggapai cita-cita besar kehidupan kita. Sebagaimana halnya mendaki gunung, tidak semua pendaki sukses mencapai puncak, dan di antara yang sukses mencapai puncak, banyak di antara mereka mengubah target puncak yang ingin dicapai dengan mengalihkannya ke puncak yang lebih rendah akibat kemampuan fisiknya yang dirasa sesuai. Sebagai sebuah kesenangan material yang tidak kekal, di saat kita telah menikmati posisi puncak tersebut untuk beberapa waktu, kita pun harus rela kembali turun setapak demi setapak dengan perjuangan yang tidak kalah sulitnya dibandingkan dengan pendakian. Jika menjadikan puncak gunung sebagai satu-satunya tujuan, maka kebahagiaannya tidak akan sebanding dengan lamanya proses pendakian yang kita lalui. Demikian juga dengan kehidupan ini, jika kita menjadikan cita-cita sebagai pusat kebahagiaan material satu-satunya, maka kita tidak akan mampu menikmati semua proses kehidupan ini.

Keindahan alam dan dengan sarat filosofi kehidupan membuat saya menyukai kegiatan mendaki gunung. Setelah Merapi, beberapa gunung sempat saya jelajah, terutama yang berlokasi di pulau Jawa dan Bali. Pulau dengan populasi terpadat di Indonesia yang dikatakan sebagai masyarakat pancasilais nan religius. Sebagaimana halnya kondisi kota dan desa di Indonesia yang dipenuhi dengan sampah yang berserakan, gunung-gunung Indonesia juga dihiasi dengan sampah-sampah yang berserakan di sepanjang jalur pendakian. Sampah-sampai tersebut seolah-olah menjadi pertunjukan arah alami yang mengantarkan kita agar tidak tersesat. Sangat unik bukan?

Mumpung punya kesempatan tinggal lama di negara orang, saya juga mendapat kesempatan melakukan pendakian di sejumlah gunung di luar negeri. Gunung terakhir yang saya kunjungi adalah Gunung Fuji. Gunung Fuji, atau sering disebut Fujiyama, atau Fujisan merupakan gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian sekitar 3700 meter di atas permukaan laut. Gunung ini hampir selalu diselimuti salju kecuali dalam rentang waktu sekitar 1 bulan pada musim panas. Karena itu tidak ubahnya seperti 1 Suro di tanah Jawa, pada saat musim panas tiba, musim pendakian akan dibuka dan ribuan masyarakat Jepang mulai dari anak-anak sampai kakek nenek akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pendakian.

Jepang merupakan negara sekuler terbesar di dunia. Undang-undang Jepang melarang memasukkan urusan agama dan keyakinan dalam sistem pemerintahan dan termasuk sistem pendidikan. Sistem mereka menempatkan agama dan keyakinan sebagai sebuah urusan pribadi sehingga hanya boleh diajarkan di lingkungan keluarga atau komunitas di luar hal-hal negara dan yang menggunakan uang pajak. Sebagai akibatnya upacara keagamaan menjadi tidak populer di negeri matahari terbit ini. Generasi muda Jepang rata-rata hanya datang ke tempel dan bersembahyang 1-3 kali dalam setahun. Sebagian besar diantara mereka bahkan tidak mengidentikkan diri mereka terhubung dalam satu jenis keyakinan. Sehingga jangan heran jika melihat anak-anak Jepang diupacarai secara Shinto, sembahyang di Shrine (tempat suci Shinto) dan Temple (tempat suci Buddhism) secara bersamaan atau bahkan sekali-sekali pergi ke Gereja, menikah di sebuah kapel ala western style, dan meninggal dengan upacara Buddhism. Jika melihat kalender Jepang, kita juga tidak akan menemukan hari libur yang identik dengan agama tertentu. Hari-hari libur yang dapat kita temukan bersifat sangat umum, seperti misalnya hari laut, hari generasi tua, hari bumi, dan sejenisnya. Meski identik dengan sebutan masyarakat “tidak beragama”, namun tidak sulit menemukan tempat suci di setiap jengkal tanah tidak terkecuali di setiap puncak-puncak gunung di Jepang.

Sebagaimana halnya kondisi kota-kota dan desa-desa di Jepang yang sangat bersih, di sepanjang perjalanan dalam jalur pendakian saya juga sangat terpesona karena hampir tidak dapat menemukan sampah sebagaimana yang saya temukan di setiap jalur pendakian gunung di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, bagaimana masyarakat Jepang yang sekuler, tidak memiliki kementerian agama, tidak diajarkan agama di bangku sekolah dapat menerapkan “tri hita karana” dengan sangat sempurna? Sebagai orang Bali yang sejak lahir sudah menghafal istilah tri hita karana dan terlebih-lebih sebagai bagian dari Indonesia yang sangat mengagungkan agama merasa sangat malu. Lihatlah apa yang terjadi setelah upacara yang kita lakukan yang katanya tujuannya menyucikan alam, sampah berserakan di mana-mana, sungai dan laut yang dikotori dengan sisa upacara. Tengoklah masyarakat agamais Indonesia, jangankan di gunung, bahkan di pinggir jalan di depan rumahnya sendiri saja membuang sampah sembarangan.

Alam adalah perwujudan dari Tuhan itu sendiri. Tuhan akan memberikan anugerah-Nya dan hukuman melalui kekuatan alam. Di saat kita mengatakan bahwa diri kita berbakti pada Tuhan, maka sudah selayaknya kita juga menjaga alam yang dapat diwujudkan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Tidak ada gunanya kita memiliki pemahaman filsafat menggunung dan sanggup berceramah secara Panjang kali lebar kali tinggi tanpa putus jika tidak diimbangi dengan implementasi yang benar. Tidak ada gunanya melakukan upacara penyucian buana alit dan buana agung jika nyatanya sisa dari upacara tersebut malah menjadi sampah dan menghancurkan alam bukan? Mari kita sama-sama berkontemplasi dan bertanya pada diri sendiri, benarkah diri kita lebih beragama dari pada masyarakat sekuler seperti Jepang?

Translate »